Kerugian besar terus menimpa militer Israel dalam pertempuran sengit melawan perlawanan Palestina di Jalur Gaza. Pekan terakhir saja, 20 tentara Israel dilaporkan tewas (angka tertinggi dalam beberapa bulan terakhir) sebagaimana diungkap kanal 12 Israel. Fakta ini memicu gelombang kritik tajam terhadap pemerintah Israel yang dituduh terus melanjutkan perang tanpa strategi jelas.
Memasuki 45 hari sejak dimulainya operasi “Arabat Gideon”, militer Israel mengaku kepada para pemimpin politiknya bahwa mereka hampir kehabisan opsi operasi di Gaza. Para komandan memperingatkan bahwa melanjutkan perang akan semakin membahayakan nyawa tentara yang kini menjadi tawanan. Tekanan pun semakin mengarah kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu (yang kini diburu Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang di Gaza) untuk segera mendorong kesepakatan gencatan senjata.
Kritik Pedas dari Dalam Israel
Sejumlah pengamat politik dan keamanan Israel menilai tujuan operasi militer di Gaza telah gagal tercapai, bahkan setelah 21 bulan perang berlangsung. Anggota Knesset dari Partai Likud, Amit Halevi, terang-terangan menyatakan bahwa “Arabat Gideon” sama sekali tidak mencapai sasarannya. Rencana militer yang digagas Kepala Staf Eyal Zamir dinilai tidak memahami strategi menghadapi “perang gerilya”, sebab Hamas masih menguasai sebagian besar wilayah, sumber daya, dan populasi di Gaza.
Jurnalis kanal 12, Daniella Weiss, bahkan melontarkan pertanyaan tajam kepada Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz: “Apa sebenarnya tujuan perang ini? Kapan kalian akan berkata: cukup sudah? Apa yang kini kalian lakukan berbeda dari masa lalu?”
Katz menjawab, “Ini adalah perang terpanjang dalam sejarah Israel. Perang ini akan berakhir hanya jika syarat-syaratnya terpenuhi, termasuk pemulangan para tawanan dan kesepakatan tentang fase pasca-perang.”
Sementara itu, pemimpin Partai National Unity, Benny Gantz, mendesak agar segera dicapai kesepakatan yang bisa membawa pulang semua tawanan “apa pun harganya”, bahkan jika harus melibatkan gencatan senjata jangka panjang.
Penulis Ma’ariv, Avi Ashkenazi, menilai seluruh misi militer Israel di Gaza sejatinya sudah selesai, dan memperpanjang perang hanya memperbesar risiko bagi para prajurit. Dukungan atas kritik ini semakin kuat setelah faksi perlawanan merilis video jebakan maut, termasuk serangan pekan lalu yang menewaskan tujuh tentara teknik Israel dalam kendaraan lapis baja di Khan Younis.
Laju Lambat dan Penuh Bahaya
Kini, militer Israel mengaku telah menguasai sekitar 60% wilayah Gaza dan menargetkan 80% dalam dua hingga tiga pekan ke depan. Namun, mereka memperingatkan bahwa operasi lebih jauh akan meningkatkan risiko bagi para tawanan, sehingga mendesak kabinet keamanan (kabinett) segera mengambil keputusan soal kelanjutan perang.
Analis politik Wisam Afifa menjelaskan kepada Al Jazeera Net bahwa kendaraan lapis baja Israel seperti “Namer”, “Eitan”, dan “Puma” (yang menjadi tulang punggung operasi “Arabat Gideon”) kini justru berubah menjadi sasaran empuk di tangan perlawanan Palestina. Hal ini terjadi akibat semakin intensifnya serangan rudal anti-tank dan ranjau berat di wilayah Khan Younis, Gaza Timur, serta Jabaliya di utara.
Menurut Afifa, taktik “perang jebakan” yang dijalankan pejuang Palestina berhasil memaksa militer Israel menarik mundur kendaraan lapis baja mereka di beberapa titik, bahkan dengan perlindungan serangan udara.
Kerugian besar baik secara materi maupun korban jiwa, lanjut Afifa, mendorong pimpinan militer mulai berbicara (meski malu-malu) tentang “akhir operasi darat”. Narasi ini diyakini sebagai upaya menyiapkan opini publik Israel untuk menerima kenyataan pahit: kegagalan di lapangan yang sulit dibenarkan secara militer.
Afifa menduga bahwa kecenderungan mundur ini bisa mempercepat tercapainya kesepakatan gencatan senjata, apalagi di tengah intensitas mediasi internasional dan tekanan AS yang meningkat belakangan ini.
Kengerian Biaya dan Jalan Buntu Militer
Operasi “Arabat Gideon”, yang diumumkan Israel pada 16 Mei lalu, awalnya dibagi ke tiga tahap: memperluas operasi militer, memaksa warga mengungsi ke Rafah, dan akhirnya menduduki sebagian besar Gaza untuk “menghancurkan Hamas”. Namun, menurut analis militer dan keamanan Rami Abu Zubaydah, pengakuan Israel soal mendekati akhir operasi justru membuka jalan bagi kesepakatan gencatan senjata baru.
Abu Zubaydah menambahkan bahwa meskipun ada pengakuan publik soal kegagalan, militer tidak menekan Netanyahu secara serius untuk segera menghentikan perang. Netanyahu dinilai tetap mampu “memanfaatkan” militer demi kepentingan politiknya.
Kini, semakin banyak kalangan militer yang percaya tak ada solusi militer mutlak untuk Gaza. Tujuan awal sudah habis, dan pasukan Israel justru terjebak dalam perang panjang yang melelahkan. Opsi pendudukan total Gaza juga ditolak mentah-mentah karena dianggap “mimpi buruk mahal dan berbahaya”.
Sejak 7 Oktober 2023, militer Israel mengakui 880 tentara tewas, termasuk 438 orang sejak dimulainya operasi darat, dan 30 orang sejak agresi terbaru pada 19 Maret 2024.
Sumber: Al Jazeera