Masalah keamanan selalu menjadi prioritas pertama Israel. Negara pendudukan yang didirikan pada tahun 1948 di Palestina, dibangun bersamanya institusi militer yang berperang dan menduduki tanah dari negara-negara tetangga untuk meningkatkan keamanannya dan melayani proyek politiknya.
Dimensi keamanan tampak kuat dalam perjanjian Otoritas Palestina dengan penjajah Israel mulai dari perjanjian (Oslo) 1993, Gaza-Jericho 1994, Taba 1995, Wye River pertama dan kedua 1998-1999, hingga piagam Mitchell 2001 dan Peta Jalan 2002 dan kemudian sampai negosiasi dihentikan tahun 2014.
Koordinasi keamanan (antara Otoritas Palestinda dan penjajah Israel) dan pelucutan perlawanan bersenjata merupakan inti dari semua perjanjian yang terjadi. Dengan pecahnya Intifadhah Al-Aqsha pada tahun 2000 dan Operasi “Dinding Pertahanan” pada tahun 2002, dan kemudian pengepungan Arafat, semuanya dilewati penjajah Israel demi melayani kepentingan keamanannya.
Hari ini, Tepi Barat kembali ke era sebelumnya di bawah pemerintahan Administrasi Sipil Israel, dengan pengetatan cengkeraman keamanan melalui koordinasi keamanan selama bertahun-tahun dengan aparat Otoritas Palestina, dan dengan itu melemahkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat Palestina.
Fokus pada Lembah Yordan dalam rencana aneksasi, karena daerah ini memiliki sumber daya ekonomi dan alam, adalah untuk memperkuat keamanan dan militer Israel atas wilayah perbatasan alami yang memisahkannya dari Yordania dan persiapan opsi pendian negara Palestina yang merdeka.
Memperkuat keamanan
Penjajah Israel tidak mengumumkan dimulainya rencana untuk mencaplok bagian-bagian dari Barat yang diduduki, yang utamanya adalah Lembah Yordan, kecuali setelah visi praktisnya lengkap untuk memperkuat kontrol keamanan atas daerah-daerah baru yang telah diselesaikan kedaulatannya di atas daerah tersebut.
Pada Mei lalu Otoritas Palestina mengumumkan bahwa mereka akan melepaskan diri dari perjanjian yang ditandatanganinya dengan pemerintah penjajah Israel dan Amerika Serikat, sementara sebuah pertanyaan muncul: Bagaimana Otoritas Palestina menerjemahkan sikap praktisnya?!
Dr. Ibrahim Habib, seorang pakar dalam urusan keamanan, kepada koreponden Pusat Inforarmasi Palestina menegaskan bahwa penjajah Israel akan melanggengkan realitas keamanannya tanpa perubahan, sementara hanya kerangka hukum dan prosedur lapangan lapangan saja yang akan berubah di wilayah kedaulatan penuh yang baru.
Dia menambahkan, “Penjajah Israel sudah menguasai seluruh area C, yang merupakan sebagian besar area di Tepi Barat, dan mereka memiliki pos-pos dan area militer yang akan diberikan izin tinggal bagi penduduknya dan bukan kewarganegaraan penuh.”
Belakangan ini penjajah israel memulai peran administratif dan keamanannya dengan mengeluarkan perintah administrasi, tagihan air dan listrik pada wilayah yang menjadi target pencaplokan di Tepi Barat, mirip dengan era Administrasi Sipil Israel sebelumnya kedatangan Otoritas Palestina.
Mohamed Musleh, seorang pakar urusan Israel, mengatakan bahwa para mitra Netanyahu dalam rencana aneksasi ini tidak mengetahui banyak perinciannya, bahkan tentara Israel belum memiliki instruksi untuk bertindak sampai sekarang.
Koordinasi keamanan dan doktrin badan-badan keamanan Otoritas Palestina telal memerangi perlawanan yang berpengaruh di Tepi Barat dan al-Quds yang diduduki penjajah Israel. Apabila rencana aneksasi baru ini akan memberikan kontak dengan tentara dan pemukim Israel, maka jalan perlawanan memerlukan upaya besar untuk mendapatkan kembali kekuatannya.
Kekhususan Lembah Jordan
Teori keamanan Israel di masa lalu didasarkan pada penguatan supremasi militer dan keamanan regional, tetapi setelah proyek perdamaian hal itu dinetralkan pihak-pihak penting seperti Mesir dan PLO, dan konflik bergeser le arena diplomatik dan politik yang memberikannya kesempatan untuk melakukan yahuidsasi di wilayah Palestina.
Lembah Jordan, luasnya sekitar 30% dari total wilayah Tepi Barat. Daerah ini memiliki sumber daya air dan ekonomi, dan merupakan keranjang makanan Palestina. Israel menganggapnya penting secara strategis sebagai perbatasan alami di sebelah timur.
Kembalinya Administrasi Sipil Israel, atau apa yang oleh beberapa orang disebutnya sebagai ikatan-ikatan desa, tidak akan mengakhiri lembaga Otoritas Palestina, melainkan akan mentransfer tugas-tugas administratif dan fungsional dari otoritas penjajah Israel agar kontrol keamanan penuh ada pada Israel.
Menurut analis Ibrahim Habib, “Sempurnanya kedaulatan penjajah Israel atas Lembah Yordan akan memperkuat keamanannya di timur Palestina yang diduduki dan perbatasannya dengan Yordania, serta membatasi masa depan politik Palestina di sana.
Dia melanjutkan, “Sejak tahun 1968, penjajah Israel menegaskan untuk tidak kehilangan kendali atas Lembah Yordan. Palestina di wilayah pendudukan pada umumnya telah mempertahankan identitas budaya dan nasionalnya serta tidak pernah melepaskannya.”
Secara geografi, Lembah Yordan sulit untuk aksi militer apa pun. Penjajah Israel selalu tertarik dan berkepentingan untuk mengendalikan daerah-daerah dataran tinggi di dalamnya dan di barat Tepi Barat yang merupakan bagian dari rangkaian pegunungan di Lembah Yordania sesrta barat dan timur Tepi Barat.
Analis Mohamed Musleh melihat bahwa penjajah Israel mengisyaratkan pada pentingnya Lembah Jordan dalam rencana (Alon) setelah agresi tahun 1967, yang berusaha untuk memecah Tepi Barat dan mencaplok Lembah Yordan serta semua wilayah dataran tinggi dan strategis; untuk menjamin keamanan penjajah Israel.
Dia menambahkan, “Penjajah Israel selalu mencari perbatasan penuh, bukan yang kurang atau tidak penuh. Perbatasan penuh itu tidak akan ada kecuali dengan mencaplok Lembah Yordan dari sudut pandang keamanan dan ekonomi.”
Demografi dan keamanan
Meskipun kelompok kanan dan ekstrem kanan mendominasi keputusan Israel, namun demografi Tepi Barat setelah pencaplokan menjadi ajang diskusi internal Israel yang diabaikan oleh kelompok kanan dan dibicarakan orang lainnya.
Rencana aneksasi, dari sudut pandang keamanan, fokus pada pencaplokan 30% dengan luas 1500 km, yang dihuni oleh 65.000 warga Palestina, yang mereupakan komunitas yang saling berjauhan yang tidak menjadi ancaman demografis terhadapnya. Demikian menurut analis Habib.
Sementara Mosleh, mengingatkan pernyataan sejumlah pemimpin penjajah Israel, yang menegaskan bahwa rencana aneksasi ini bertotak dari dimensi agama (Netanyahu). Bahwa rencana ini adalah masa depan yang akan mengakhiri impian negara Israel.
Dia melanjutkan, “Orang-orang yang bervisi keyahudian negara (Israell) mengabaikan ancaman keamanan dan demografi. Sementara lawan Netanyahu memperingatkan akan bahaya demografi Palestina yang akan mengancam keamanan masa depan Israel dan proyek Israel Raya.”
Setahun yang lalu (Yossi Beilin), arsitek perjanjian (Oslo), mengisyaratkan bahwa pencaplokan Tepi Barat membawa ancaman secara demografis pada Israel bersamaan dengan meningkatkan populasi Palestina.
Rencana aneksasi ini tidak akan mengakhiri realita lembaga Otoritas Palestina meskipun peran administratif dan fungsionalnya menurun. Bisa jadi krisis keuangan Otoritas Palestina merupakan awal untuk mendomestikasi rakyat Palestina sebelum tawaran baru kesepahaman Palestina-Israel. (Admin/Palinfo)