Momen bendera Palestina untuk pertama kalinya dikibarkan di depan gedung perwakilan Palestina di London terasa bagai kemenangan simbolik. Di sana, para aktivis, diplomat, dan anggota parlemen berkumpul merayakan pengakuan resmi Inggris atas Negara Palestina. Namun, di balik gegap gempita itu, tersimpan peringatan: simbol ini belum cukup untuk menebus luka panjang sejak Deklarasi Balfour 1917, janji kolonial Inggris yang melahirkan penjajahan dan penderitaan bangsa Palestina.

Perdana Menteri Keir Starmer, setelah berbulan-bulan ditekan publik dan parlemen, akhirnya mengumumkan pengakuan tersebut. Ia menyebut langkah ini sebagai komitmen Inggris pada “perdamaian dan solusi dua negara,” sembari menegaskan pengecualian Hamas dari peta politik Palestina. Tetapi banyak pihak menilai pengakuan ini lahir lebih karena gelombang amarah publik Eropa terhadap genosida Israel di Gaza ketimbang niat tulus London.

Simbol yang Berlapis Makna
Dalam upacara pengibaran bendera, Hamish Falconer (Menteri Timur Tengah dari Partai Buruh) menyatakan bahwa pengakuan ini adalah bentuk penghormatan pada hukum internasional. Namun, ia pun mengakui, langkah tersebut tak mampu menghentikan pembantaian dan kelaparan sistematis di Gaza.

Bagi banyak yang hadir, simbol ini justru membuka kembali ingatan pahit tentang peran Inggris: dari Deklarasi Balfour, mandat kolonial, hingga keterlibatan dalam melindungi Israel saat ini. Duta Besar Palestina di London, Husam Zomlot, menyebut pengakuan ini sebagai “upaya koreksi terhadap warisan kolonial Inggris,” meski ia sadar jalan panjang masih menanti.

Sambutan dan Kritik
Meski ada euforia diplomatik, protes keras tetap terdengar di depan kantor perwakilan yang kini resmi menjadi Kedutaan Besar Palestina. Para aktivis menuntut lebih: hentikan penjualan senjata ke Israel, tarik dukungan politik, dan adili mereka yang terlibat dalam genosida Gaza.

Jeremy Corbyn, mantan pemimpin Partai Buruh, turut hadir dan menyerukan agar pemerintah lain segera mengikuti jejak Inggris. Ia menilai, tekanan publik yang memaksa pengakuan ini telah membuat posisi Amerika Serikat—sekutu utama Israel—semakin terisolasi. Corbyn mendesak pemerintahan Starmer untuk menekan Presiden Donald Trump, satu-satunya pihak yang dinilai mampu memaksa Israel menghentikan agresinya.

Tekanan Jalanan yang Berbuah
Ben Jamal, Ketua Kampanye Solidaritas Palestina di Inggris, menegaskan bahwa pengakuan ini adalah hasil langsung dari gelombang protes rakyat. Menurutnya, ini bukan hadiah dari London, melainkan buah dari keteguhan massa meski menghadapi represi dan stigma. Ia memperingatkan bahwa Israel tetap melanjutkan pencaplokan tanah dan genosida, dengan restu politik negara-negara Barat.

Adnan Hamidan dari Forum Palestina di Inggris menilai pengakuan ini tak mengubah realitas di lapangan, tapi tetap memiliki bobot politik. Menurutnya, itu adalah kartu diplomatik yang harus dipakai untuk menekan Israel: dari embargo senjata, dukungan penyelidikan internasional, hingga isolasi di forum dunia.

Pertarungan Narasi
Momen pengibaran bendera Palestina di London menjadi bukti bahwa Israel kalah dalam perang narasi. Muhammad Amin, aktivis Palestina sekaligus pemimpin redaksi Arab London, menilai pengakuan ini adalah kekalahan besar bagi Israel di mata opini publik dunia. Upaya lobi Zionis untuk menjual narasi genosida Gaza sebagai “perang melawan terorisme” gagal, bukan hanya karena solidaritas global, tetapi juga karena keteguhan rakyat Gaza—anak-anak yang bertahan dalam kelaparan, perempuan dan laki-laki yang terus melawan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here