Dua analis politik menilai bahwa pengakuan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Galant, telah membongkar narasi palsu yang selama ini dibangun oleh Israel, sekaligus membuktikan bahwa agresi militer ke Gaza sejak hari pertama perang berdiri di atas tumpukan kebohongan yang sistematis.
Galant sebelumnya mengakui bahwa gambar terowongan di Poros Philadelphi yang dirilis militer Israel adalah rekayasa belaka—sebuah alat propaganda untuk membesar-besarkan urgensi operasi di wilayah itu dan menggagalkan kesepakatan pertukaran tawanan. Pernyataan ini, menurut pengamat Israel Dr. Mohannad Mustafa, membuktikan bahwa Galant tak hanya mengetahui kebohongan tersebut, tetapi juga terlibat langsung dalam membingkai narasi demi membenarkan langkah politik Netanyahu.
Namun Galant bukan satu-satunya. Sejumlah mantan kepala Shin Bet (intelijen dalam negeri Israel) dan para jenderal juga mulai bersuara, mengungkap bahwa Netanyahu pernah memerintahkan tindakan ilegal selama perang. Mereka baru bersuara kini, kata Mustafa, karena yakin bahwa Netanyahu telah berubah menjadi ancaman bagi negara itu sendiri—terutama setelah ia menyingkirkan sejumlah pejabat penting demi memonopoli kekuasaan.
Mustafa memperkirakan, pengakuan Galant ini bisa memicu tuntutan pembentukan komisi penyelidikan resmi di Israel, mengingat banyaknya kebohongan yang dijadikan dasar pembenaran perang di Gaza. Kepercayaan publik terhadap Netanyahu pun kian tergerus; mereka melihat seorang pemimpin yang tak ragu memanipulasi fakta demi kepentingan pribadi.
Sementara itu, analis politik Dr. Iyad Al-Qarra menambahkan bahwa pengakuan Galant memperkuat dugaan publik atas kampanye disinformasi yang dijalankan Israel sejak 7 Oktober 2023—mulai dari isu pemenggalan bayi, pemerkosaan massal, hingga pembantaian di Rumah Sakit Baptis dan serangan terhadap relawan medis di Rafah. Menurutnya, ada setidaknya 10 kebohongan besar yang dilakukan Israel sepanjang perang.
Mengenai arah kebijakan Israel ke depan, Mustafa melihat dua kubu dalam pemerintahan. Kubu ekstrem kanan mendorong pendudukan penuh Gaza dan pemerintahan militer segera, sedangkan Netanyahu cenderung memperpanjang perang perlahan sembari membuka opsi kesepakatan sebagian dengan perlawanan Palestina.
Namun, Hamas tetap teguh pada satu tuntutan: kesepakatan menyeluruh yang menjamin penarikan total pasukan Israel dari Gaza dan pembebasan seluruh tawanan. Jika Netanyahu menyerah pada tuntutan ini, analis meyakini pemerintahannya akan runtuh. Karena itu, ia terus memainkan kartu “perlunya perlucutan senjata Hamas” untuk menyenangkan koalisi kanan ekstrem yang menopangnya.
Hamas sendiri memahami tekanan kemanusiaan yang dialami rakyat Gaza akibat blokade, namun tetap menolak manuver Netanyahu yang hanya bertujuan meredam gejolak internal dan menyenangkan Amerika. Hamas juga bersikeras bahwa setiap kesepakatan yang dicapai harus mengandung jaminan internasional yang nyata.
Dalam perkembangan lain, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani menegaskan di Washington bahwa negaranya tengah bekerja bersama AS untuk mendorong gencatan senjata, dan terus berkoordinasi dengan Mesir guna mengupayakan kesepakatan pertukaran tawanan.