Pemerintah Provinsi Al-Quds memperingatkan adanya eskalasi berbahaya terkait seruan kelompok ekstremis Yahudi untuk menyembelih kurban paskah di kompleks Masjid Al-Aqsha pada pekan depan. Dalam pernyataan resminya Selasa (8/4), otoritas Palestina menyebut seruan tersebut sebagai “perkembangan serius” dan bentuk “pelanggaran terhadap status hukum dan historis” situs suci umat Islam tersebut.

“Seruan untuk menyembelih apa yang disebut ‘kurban Paskah Yahudi’ di dalam dan sekitar Masjid Al-Aqsha merupakan bentuk eskalasi berbahaya yang sejalan dengan upaya sistematis menargetkan tempat suci umat Islam dan Kristen, terutama Al-Aqsha,” tulis pernyataan tersebut.

Pihak provinsi juga menyoroti konten provokatif yang beredar di media sosial dan platform milik kelompok ekstremis seperti kelompok “Haikal” palsu, yang disertai gambar dan aksi teatrikal dari tokoh-tokoh radikal. Aksi ini bahkan mendapat dukungan langsung dari sejumlah pejabat pemerintahan Israel, termasuk Menteri Keamanan Nasional sayap kanan, Itamar Ben Gvir.

Menjelang perayaan Paskah Yahudi yang berlangsung antara 12 hingga 20 April, kelompok pemukim menyerukan agar hewan kurban dibawa dan disembelih di area Masjid Al-Aqsha, dengan dalih bahwa kawasan tersebut merupakan lokasi “Bait Suci” yang mereka klaim.

Pemerintah Provinsi Al-Quds mengecam keras seruan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk provokasi yang mencederai perasaan umat Muslim serta pelanggaran terang-terangan terhadap hak keagamaan mereka. Mereka juga memperingatkan bahwa upaya membawa ritual Taurat ke dalam masjid merupakan serangan terhadap status quo yang telah lama dijaga.

Berdasarkan laporan Anadolu, status quo di Al-Aqsha mengacu pada kondisi sebelum pendudukan Israel atas Al-Quds Timur pada 1967, di mana pengelolaan Masjid Al-Aqsha berada di bawah kewenangan Departemen Wakaf Islam yang berafiliasi dengan Kementerian Wakaf Yordania. Namun sejak 2003, Israel mulai mengizinkan pemukim ekstremis Yahudi memasuki kompleks tanpa persetujuan pihak wakaf, yang secara konsisten menolak dan menilai tindakan itu sebagai pelanggaran.

Meski Israel mengklaim menghormati status quo, pihak wakaf membantahnya dan menegaskan bahwa Israel telah berulang kali melanggarnya secara sepihak.

Perlu diketahui, hak Yordania untuk mengelola situs-situs keagamaan di Yerusalem diakui dalam Perjanjian Damai Wadi Araba tahun 1994. Namun, sejak meletusnya agresi genosida di Gaza pada 7 Oktober 2023, Israel memberlakukan pembatasan ketat terhadap akses warga Palestina dari Tepi Barat ke Yerusalem Timur.

Warga Palestina menilai kebijakan ini sebagai bagian dari proyek Israel untuk mengubah identitas Arab dan Islam Al-Quds Timur, termasuk Masjid Al-Aqsha, sebagai bagian dari upaya Yahudisasi wilayah tersebut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here