Sejak awal tahun ini, Wali Kota pendudukan Israel, Moshe Lion, mengumumkan pembukaan tiga taman dan area rekreasi di wilayah barat Al-Quds. Pada tahun 2024, ia juga telah membuka enam taman lainnya untuk para pemukim Israel.

Pada Desember tahun lalu, dalam pengumuman di halaman Facebook-nya tentang renovasi “Taman Mawar” yang dibangun di atas tanah pendudukan di lingkungan Talbiya sejak 1948, ia menulis: “Setiap orang di Al-Quds berhak memiliki taman yang tidak lebih dari 10 menit dari rumahnya.”

Namun, semua taman yang dibangun di lahan luas itu hanya diperuntukkan bagi pemukim Israel. Sementara itu, hanya beberapa kilometer dari taman-taman tersebut, buldoser milik kotamadya pendudukan, yang dipimpin oleh Lion, terus merobohkan rumah-rumah warga Palestina di Al-Quds. Mereka bukan hanya kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang layak, tetapi juga tidak memiliki ruang bermain untuk anak-anak mereka.

Di bagian timur Al-Quds, di tengah penyitaan tanah secara besar-besaran dan pembatasan pembangunan di kawasan Palestina, hampir tidak ada ruang terbuka bagi anak-anak untuk bermain.

Bahaya di Dalam Rumah Sendiri

Dalam kondisi terbaik, anak-anak di Al-Quds turun ke jalan-jalan sempit di lingkungan mereka untuk bermain, meskipun berisiko. Ada juga yang memilih naik ke atap rumah untuk menghirup udara segar. Namun, ini pun bukan jaminan keselamatan.

Seperti yang dialami oleh Mays Mahmoud, seorang anak dari Issawiya, yang ditembak oleh tentara Israel saat bermain di atap rumah bersama saudara-saudarinya pada awal Ramadan lalu.

Mays terkena tembakan di kakinya, dan peluru itu merusak sarafnya. Namun, ia bukan korban pertama. Pada tahun 2017, seorang anak bernama Nouruddin Mustafa kehilangan mata kirinya akibat tembakan peluru karet tentara Israel saat ia berdiri di atap rumahnya, juga di Issawiya.

Masyarakat Palestina di Al-Quds tidak lagi berharap mendapatkan taman rekreasi dari pemerintah pendudukan, yang selama ini dikenal dengan kebijakan diskriminatifnya. Mereka hanya menuntut hal yang lebih mendasar: trotoar bagi anak-anak mereka agar bisa berjalan aman ke sekolah. Selama bertahun-tahun, kelalaian kotamadya telah menyebabkan kecelakaan tragis, termasuk insiden pada 2023, di mana tiga bersaudara dari keluarga Rajabi tewas akibat ditabrak kendaraan di Kamp Pengungsi Shuafat karena tidak adanya trotoar.

Peneliti di organisasi hak asasi manusia Israel Ir Amim, Aviv Tatarsky, mengkritik kebijakan diskriminatif ini. Ia mencontohkan bagaimana lingkungan Yahudi “Nayot” di bagian barat Al-Quds, yang hanya dihuni sekitar 500 keluarga, memiliki tiga lapangan olahraga dan tiga taman umum. Sebaliknya, di lingkungan Palestina di Al-Quds Timur, hampir tidak ada fasilitas serupa.

Menurutnya, pembangunan taman dan lapangan membutuhkan anggaran besar dari kotamadya, dan sudah jelas bahwa dana tersebut lebih banyak dialokasikan ke lingkungan Yahudi daripada ke kawasan Palestina.

“Kebijakan Israel di Al-Quds jelas: mereka ingin merebut tanah tanpa warga Palestina di dalamnya. Karena itu, mereka membangun dan mengembangkan fasilitas bagi warga Yahudi, sementara mereka menghancurkan rumah-rumah warga Palestina. Tahun ini saja, organisasi kami telah mencatat 180 rumah yang dihancurkan di Al-Quds Timur,” ujar Tatarsky.

Layanan Hanya untuk Warga Yahudi

Ahli peta dan permukiman, Khalil Tafakji, menegaskan bahwa kebijakan Israel terhadap Al-Quds sejak 1967 bertujuan untuk memiskinkan kota ini. Banyak fasilitas umum dan taman yang sebelumnya digunakan oleh warga Palestina kini telah disita dengan dalih “kepentingan umum.”

Di Kota Tua Al-Quds, yang dihuni puluhan ribu warga Palestina, hampir tidak ada ruang terbuka. Satu-satunya tempat yang tersedia bagi mereka adalah Jam’iyat Burj al-Laqlaq lil Amal al-Mujtama’i, sebuah pusat komunitas yang menyelenggarakan berbagai kegiatan, serta Taman Rockefeller yang berjarak beberapa meter dari Bab al-Sahira (salah satu gerbang Kota Tua).

Sebaliknya, warga Yahudi memiliki banyak taman dan lapangan olahraga di setiap lingkungan pemukiman. Sementara warga Palestina harus membayar pajak dalam jumlah besar, fasilitas publik justru diberikan sepenuhnya kepada warga Yahudi. Beberapa taman di permukiman ilegal Israel bahkan dibangun di atas tanah seluas 800 dunam (sekitar 80 hektare). Salah satunya adalah cagar alam yang baru dibuka di Wadi Mujalli, di antara pemukiman Pisgat Ze’ev dan Kamp Pengungsi Shuafat, dengan luas mencapai 700 dunam.

Kebijakan Apartheid

Pakar hukum dan akademisi asal Al-Quds, Munir Nuseibeh, menegaskan bahwa kebijakan Israel di kota ini adalah bentuk nyata dari sistem apartheid. Salah satu buktinya adalah bagaimana hak-hak dasar anak-anak Palestina—termasuk hak untuk bermain dan beraktivitas di waktu luang—terus dirampas.

“Lingkungan Palestina di Al-Quds sangat padat, tidak ada perencanaan yang memadai, orang-orang sulit mendapatkan izin membangun, dan mereka selalu diancam dengan pembongkaran rumah. Anak-anak Palestina menjadi korban dari kondisi ini, sementara anak-anak Yahudi mendapatkan berbagai fasilitas rekreasi,” jelas Nuseibeh.

Karena keterbatasan ini, banyak keluarga Palestina di Al-Quds yang mencari alternatif dengan membawa anak-anak mereka ke wilayah Tepi Barat untuk berlibur, terutama saat hari raya.

Namun, setelah perang terbaru meletus, perjalanan ke Tepi Barat menjadi lebih berisiko karena meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut. Akibatnya, anak-anak Palestina di Al-Quds kembali hanya memiliki jalanan dan atap rumah mereka sebagai tempat bermain—tempat yang tidak pernah benar-benar aman bagi mereka.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here