Spirit of Aqsa, Palestina- 54 tahun telah berlalu sejak pembakaran, Masjid Al-Aqsha menjadi sasaran yahudisasi. Namun, api masih menyala di dalamnya dalam bentuk lain yang dilakukan para ekstremis Yahudi dan penjajah Israel.
Senin (21/8/2023), bertepatan dengan peringatan 54 tahun pembakaran Masjid Al-Aqsha, Bakirat mengatakan bahwa pembakaran Masjid Al-Aqsha oleh seorang ekstremis Yahudi asal Australia meninggalkan tiga pesan yang masih bergema dalam kenyataan kita saat ini.
Pesan pertama dan terpenting dari pesan-pesan tersebut adalah bahwa api serangan Israel masih berkobar di Masjid Al-Aqsha, dan telah menyebar ke seluruh Palestina.
Adapun pesan kedua dari pembakaran tersebut adalah doktrin pembakaran yang menguasai ideologi negara Israel, yang menyasar bangunan dan umat manusia. Api tidak berhenti di Al-Aqsha, bahkan merambat hingga ke pembantaian di Masjid Ibrahimi pada tahun 1996, kemudian pembakaran bocah Palestina Muhammad Abu Khudair dari Al-Quds pada tahun 2014, dan keluarga Dawabsha di distrik Nablus pada tahun 2015. Demikian tegas Bakirat.
Wakil Direktur Jenderal Departemen Wakaf Islam di Al-Quds, Najeh Bakirat, menjelaskan, pesan ketiga mengungkapkan sikap legendaris Palestina dalam mempertahankan tempat-tempat suci mereka, bersiaga di halaman Masjid Al-Aqsha, dan melawan tindakan teroris yang mana pendudukan Zionis Israel menarget masyarakat dan wilayah perkotaan.
Bakirat menekankan, masalah ini tidak berbeda antara tahapan pembakaran Masjid Al-Aqsha di masa lalu dan kondisi yang sedang dialami saat ini. Dia menambahkan, “Di masa lalu, otoritas pendudukan Zionis Israel menggunakan ekstremis untuk melaksanakan rencana mereka menarget tempat-tempat suci. Tapi sekarang mereka melakukannya sendiri.”
Dia menyatakan, “Kelompok-kelompok ekstremis yang membakar Al-Aqsha kemarin, sekarang memberikan perintah kepada para pemukim pendatang Yahudi untuk membakar Hawara, Turmus Aya, dan desa-desa di Tepi Barat, yang terbakar siang dan malam di hadapan tentara pendudukan Zionis Israel dan pemerintahnya.”
Bakirat menambahkan bahwa “geng-geng ekstremis ini telah membentuk apa yang dikenal sebagai negara pemukim pendatang Yahudi di negara pendudukan Zionis Israel, yang mengontrol tanah dan tempat-tempat suci, dan menarget orang-orang di Tepi Barat dan Al-Quds.”
Dia mengingatkan bahwa kelompok-kelompok ekstremis ini bertemu untuk satu tujuan, yaitu melenyapkan Masjid Al-Aqsha untuk kepentingan ilusi mereka mendirikan kuil yang mereka klaim di lokasi masjid.
Kenyataan yang menyakitkan
Ketua Komite Anti-Yahudisasi di Al-Quds, Nasser Al-Hadmi, mengatakan, “Masjid Al-Aqsha sedang mengalami kenyataan yang menyakitkan dan lebih berbahaya tahun ini. Bukan karena pendudukan Zionis Israel mampu mencapai tahap lanjut dalam kendalinya atas masjid. Namun hal ini terjadi karena kami sebagai warga Palestina masih belum mempunyai rencana strategis untuk menghilangkan agresi dan ketidakadilan di masjid.”
Al-Hadmi menambahkan, dalam sebuah wawancara pers, bahwa “kenangan menyakitkan ini diperbarui setiap tahun, untuk memastikan bahwa kebakaran Masjid Al-Aqsha masih berlangsung. Masalahnya tidak lagi terbatas pada penyerangan saja, namun kita menyaksikan ritual Talmud secara terang-terangan, akad nikah, tiupan terompet, dan sebagainya.”
Dia menyatakan bahwa pendudukan Zionis Israel tidak lagi menjadikan isu pembangunan “kuil mitos” di tempat Al-Aqsha sebagai isu rahasia, namun telah menjadi elemen paling penting untuk membujuk umat Yahudi dunia agar bermigrasi ke Palestina.
Dia menjelaskan bahwa penjajah Zionis terus-menerus berbicara tentang pembangunan “kuil mitos” tersebut, dan “kita melihat langkah-langkah berturut-turut mereka dalam mengendalikan masjid yang diberkahi, dan menghilangkan segala bentuk peran kepedulian Yordania dan Palestina terhadapnya.”
Menurut Al-Hadmi, “Pendudukan Zionis Israel terus menjalankan rencana strategisnya, sementara kita belum menyiapkan rencana efektif untuk menghentikan serangan Israel terhadap Al-Aqsha dan melindunginya. Semua yang terjadi hanyalah reaksi terhadap meningkatnya penyerangan terhadap Masjid Al-Aqsha selama hari-hari besar Yahudi.”
Dia melanjutkan, “Pendudukan Zionis Israel memperkuat kontrolnya atas masjid setiap hari. Mereka meningkatkan serta mengembangkan metode dan bentuk penyerangan. Sementara kami masih menyerukan bersiaga saja, yang kehilangan kemampuannya untuk menghadapi rencana pendudukan Zionis Israel, terutama ketika mereka menutup pintu-pintu masuk ke Al-Quds dan gerbang Kota Tua dan Al-Aqsha.”
Al-Hidmi menekankan perlunya berpikir tentang mengembangkan metode dan cara untuk melindungi Masjid Al-Aqsha dari rencana pendudukan Zionis Israel, upayanya untuk mengendalikannya, dan kemajuannya dalam mencapai tujuannya membangun “kuil mitos” di lokasi masjid.
Masa-masa sulit yang mendatang
Adapun penulis dan analis politik, Rasem Obeidat, dia menegaskan bahwa Masjid Al-Aqsha “menunggu hari-hari dan kesempatan yang sulit selama beberapa fase berikutnya, di mana akan ada eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh kelompok-kelompok Talmud, untuk melakukan serbuan besar-besaran, untuk menghasilkan pergeseran kualitatif, yang mengabadikan pembagian masjid secara ruang dan waktu, dan memaksakan kesucian Yahudi menuju pembangunan ‘kuil mitos’ secara praktis.”
Dia menambahkan, “Terutama setelah pembentukan pemerintahan sayap kanan, di Masjid Al-Aqsha baru-baru ini terjadi upaya yahudisasi gila-gilaan dan penerapan fakta-fakta baru di dalamnya, yang akan menyingkirkan masjid melalui kebijakan penggantian agama, dari murni kesakralan Islam menuju kesakralan agama bersama, setelah menyelesaikan ritual-ritual yang disebut dengan kebangkitan kuil moral.”
Dia menekankan bahwa masalah tersebut membutuhkan konfrontasi dan perlawanan yang tidak hanya sebatas pernyataan kecaman dan ketukan yang dilakukan dengan malu-malu dan membosankan serta memorandum protes dan mengemis di gerbang Gedung Putih dan lembaga-lembaga internasional.