Spirit of Aqsa, Palestina – Di ruang ganti tim, Khalid Sarhan bersiap memasuki stadion sepak bola. Dia berdiri di depan cermin dan mengenakan lencana kapten di lengannya, menolak bantuan dari rekan satu timnya.
Hingga 5 Mei lalu, lencana kapten tim Akademi Sepak Bola Olahraga Pele di Nablus, sebuah kota di Tepi Barat utara Palestina, selalu dikenakan rekannya, yaitu Saeed Odeh. Tapi panggilan telepon dari seorang teman membuat hidup Sarhan terbalik.
“Pada malam hari, seorang teman menelepon saya dan berkata: ‘Bukankah kamu teman Saeed?’ Ketika saya berkata ‘ya,’ dia berkata ‘temanmu dibunuh oleh tentara dalam perjalanan ke kolam renang,’” kata Sarhan pada Anadolu Agency dengan berat hati.
Dia tidak percaya berita itu dan hampir kehilangan kesadaran hingga ayahnya membenarkan bahwa temannya telah tewas. Sore hari yang menentukan itu, Odeh menuju ke sebuah kolam di dekat desanya Odala bersama teman-temannya. Dalam perjalanan, mereka terjebak dalam baku tembak.
Sebuah peluru tajam dari tentara Israel mengenai dada Odeh. Dia mencoba melarikan diri ke ladang zaitun, tetapi terjatuh karena dia kehilangan banyak darah.
“Ketika dia berada di antara pohon zaitun, tentara Israel menembaknya lagi. Peluru menembus bahunya dan meledak di dadanya,” menurut Jihad Nassar, pelatih sepak bola Odeh.
Sebuah ambulans dilarang masuk meskipun Odeh dalam kondisi kritis. Pasukan Pertahanan Israel sering tidak menerima bantuan kepada warga Palestina yang terluka.
Beberapa jam kemudian barulah tentara mengizinkan ambulans memasuki ladang tersebut. Petugas ambulans itu adalah Fayez Abd Al-Jabar, paman Odeh.
Sungguh mengejutkan bagi Al-Jabar ketika dia menemukan Odeh berdarah di tanah. Dia mencoba menyelamatkan nyawa keponakannya bersama dengan staf medis di rumah sakit Rafedeah, tetapi Odeh menyerah pada luka-lukanya segera setelah tiba di fasilitas tersebut.
“Kami mendapat berita dari Facebook, tapi kami tidak percaya. Kami terus berpikir ada kesalahan dalam nama sampai kami tiba di rumah sakit, dan bahkan ketika kami melihatnya, kami tidak percaya dia telah pergi, ”kata Nassar.
Meski berbulan-bulan telah berlalu, pelatih dan tim Odeh masih terguncang.
“Dia sangat ramah, dan pada saat yang sama sangat tajam dalam soal permainan. Dia berusaha melakukan yang terbaik,” kata Nassar, yang pertama kali bertemu Odeh di akademi tempat dia biasa datang bersama pamannya. “Dia pemarah, tapi juga biasa meminta maaf tanpa ragu-ragu.” (republika)