Spirit of Aqsa, Palestina –  Dentuman bom kerap terdengar. Gaza seolah menjadi saksi bisu kekejaman zionis Israel terhadap warga Palestina. Meski begitu, siswa-siwa Gaza tak pernah menjadikan perang sebagai alasan untuk mundur dari bangku sekolah. Mereka tetap menjalankan rutinitas pembelajaran meski trauma perang.

Di tengah reruntuhan, Mona Zaquot (17 tahun) duduk di atas kursi menatap ke layar gawai. Ia menunggu hasil ujian akhir sekolah, atau di Gaza dikenal dengan sebutan tawjihi.

Moda duduk bersama Ahmed, kakak laki-laki yang berusia 18 tahun duduk dengan ketegangan yang sama. Keduanya dikelilingi anggota keluarga lengkap dengan laptop menyala. Mereka menunggu hasil ujian.

Pemberitahuan masuk. Hasil ujian telah keluar. Ahmed mendapat nilai sempurna, 98,4. Sementara Mona tak kuasa menahan bahagia saat sang ibu membacakan nilainya yang mencapai 98,7. Mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan bahagia.

Baik Mona maupun Ahmed seolah tak percaya dengan hasil ujian itu. Bagaimana tidak, mereka menjalani ujian saat zionis Israel gencar melancarkan serangan udara ke wilayah Gaza. Mereka menggelar ujian sejak 24 Juni hingga 12 Juli 2021.

Mereka menjalani serangkaian ujian selang beberapa pekan zionis Israel membombardir jalur Gaza yang sudah porak-poranda. Peristiwa itu dikenal sebagai serangan 11 hari, yang membuat 260 warga Palestina syahid, termasuk 66 anak-anak. Serangan ini merupakan salah satu serangan Israel paling intens di Gaza, dan menargetkan berbagai infrastruktur sipil.

Sama halnya Moda dan Ahmed, ribuan siswa di Gaza belajar tanpa lelah. Hasil ujian itu sangat menentukan perjalanan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Para siswa mempersiapkan ujian sejak awal tahun, namun mereka yang tinggal di daerah konflik memiliki kesulitan tersendiri.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Palestina, 83.000 siswa mengikuti ujian tahun ini di seluruh wilayah Palestina yang diduduki.

Siswa yang lulus ujian selalu merayakan kelulusan dengan kembang api, pesta, dan dihujani hadiah dan permen tradisional. Sebut saja Sara Al-Zebra. Ia dibanjiri kunafa, makanan penutup tradisional Timur Tengah, dan bunga saat mendapat hasil ujian 95,3. Itu adalah mimpi menjadi kenyataan, mengingat wanita muda itu kehilangan saudara laki-laki dan ayah dalam serangan 11 hari penjajah Israel.

“Saya benar-benar hancur. Saya tidak bisa belajar, saya tidak bisa melakukan apa-apa selama berminggu-minggu,” kata al-Zebda dikutip dari Al Jazeera. Al-Zebda butuh waktu satu bulan untuk menyiapkan mental menghadapi ujian akhir.

Sementara, Ahmed Nusair, kehilangan semua bahan pelajaran mereka selama penyerangan. Rumahnya menjadi sasaran menjelang hari raya Idul Fitri. Puing-puing telah menjadi pemandangan normal di Gaza, yang telah berada di bawah pengepungan Israel yang melumpuhkan sejak 2007.

Serangan Israel pada Mei lalu menghancurkan 2.000 unit perumahan, dan sebagian menghancurkan setidaknya 22.000 unit rumah lainnya. Peristiwa itu memaksa puluhan ribu warga Palestina untuk mengungsi. Sekitar 74 fasilitas umum hancur.

“Saya ingat langit-langit jatuh menimpa kami,” kata Nusair, mengingat saat rumahnya dihantam bom.

“Kami semua dengan cepat berpencar dan mulai berlari tetapi tidak ada tempat untuk pergi. Hal berikutnya yang saya tahu kami berada di rumah sakit dengan saudara perempuan saya yang menderita luka-luka,” katanya.

“Kami mencari perlindungan selama 11 hari pengeboman, dan ketika mereka mengumumkan gencatan senjata, hal pertama yang saya pikirkan adalah: saya perlu bahan untuk belajar untuk ujian akhir saya,” ucap dia.

Usai serangan, Nusair kembali ke rumahnya yang telah hancur. Ia mencari buku-buku, catatan, atau apapun untuk membantunya ujian. Padahal ujian akhir menyisakan tiga pekan lagi. “semuanya hilang,” ucap dia. Akibatnya, ia hanya mendapat nilai 66,4 persen. (LANGIT7.ID)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here