Umat Kristen Palestina di Gaza menggelar misa Natal Rabu malam (25/12), menandai dua tahun setelah perang pemusnahan yang dilancarkan Israel dan meninggalkan kerugian manusia serta kehancuran masif. Meski bayang-bayang perang masih membayangi kehidupan sehari-hari, mereka berusaha menghidupkan kembali simbol-simbol keagamaan dan kemanusiaan Natal.
Misa digelar di Gereja Keluarga Kudus dalam kompleks Biara Latin (Katolik) di timur Kota Gaza, di tengah reruntuhan dan jejak kehilangan yang masih terlihat jelas. “Suasana Natal tahun ini lebih baik dibanding masa perang, meski beban penderitaan masih terasa,” kata Edward Sabbagh, seorang jemaat, kepada Anadolu Agency.
Suasana Natal yang Terpangkas
Kehadiran warga diiringi dengan harapan agar momen ini menjadi awal stabilitas setelah dua tahun penderitaan. Mereka menata pohon Natal kecil dan gua kelahiran Yesus, berusaha menebarkan keceriaan meski dengan rasa bahagia yang terpangkas. Suara nyanyian dan cahaya lilin menciptakan momen hening, menyiratkan kedamaian yang rapuh di tengah bangku gereja yang menyimpan kenangan pengungsian dan ketakutan.
Sabbagh menambahkan, walaupun sukacita tetap terbatas, hanya berakhirnya perang memberi mereka alasan untuk tersenyum. “Kami ingin hidup damai, seperti sebelum perang,” ujarnya. Keluarganya sendiri mengungsi ke gereja dua hari setelah perang dimulai pada 9 Oktober, sebelum gereja itu diserang pada bulan yang sama.
Target Serangan dan Dampaknya
Selama dua tahun terakhir, Gereja Keluarga Kudus beberapa kali menjadi sasaran serangan Israel; serangan terakhir pada Juli 2025 menewaskan tiga pengungsi dan melukai sembilan lainnya, termasuk Pastor Gabriel Romanelli. Selama periode itu, 20 warga Kristen Gaza tewas dan tiga gereja utama diserang berulang kali.
Di tengah kenangan pahit ini, gereja kini menampung sejumlah keluarga Kristen yang kehilangan rumah akibat perang. Sekitar 70% komunitas Kristen Gaza adalah penganut Gereja Ortodoks Yunani, sedangkan sisanya mengikuti Gereja Katolik Latin.
Sumber: Anadolu Agency










