Perang di Gaza tak hanya menghancurkan bangunan dan infrastruktur, tetapi juga merobohkan kehidupan warganya hingga ke batas paling ekstrem. Al Jazeera Mubasher, dalam liputan lapangan di Kota Gaza, mendokumentasikan tragedi sebuah keluarga Palestina yang terpaksa bertahan hidup di samping tempat pembuangan sampah (TPS) yang diperuntukkan bagi pusat-pusat pengungsian.

Keluarga ini, dipimpin oleh Hamada Abu Laila, memilih mendirikan tenda di tengah tumpukan sampah setelah berulang kali gagal menemukan tempat aman di kamp pengungsian, sekolah, maupun pusat evakuasi yang telah lama penuh sesak.

Di lokasi itu, keluarga Abu Laila hidup tanpa layanan dasar, dalam kondisi yang nyaris tanpa keamanan. Bau menyengat, serbuan serangga, tikus, dan anjing liar menjadi bagian dari keseharian mereka.

“Kami sudah berpindah berkali-kali, dari utara ke selatan Gaza. Tidak ada tempat di kamp, sekolah, atau pusat pengungsian. Satu-satunya tempat yang tersisa hanyalah di samping tempat sampah,” ujar Abu Laila kepada Al Jazeera Mubasher.

Dari Akademisi ke Pengungsi di TPS
Abu Laila menuturkan ironi pahit yang mengubah hidupnya secara drastis. Ia adalah lulusan tiga gelar sarjana dan sebelumnya bekerja sebagai asisten dosen di universitas.

“Saya orang terdidik, punya tiga ijazah, dulu berdiri di ruang kuliah mengajar mahasiswa. Sekarang saya hidup di tengah tempat pembuangan sampah, di antara penyakit dan wabah,” katanya.

Saat malam tiba, penderitaan keluarga ini kian berlipat. Bagi Abu Laila, malam bukan waktu beristirahat, melainkan jam-jam penuh kecemasan.

“Orang lain menunggu malam untuk istirahat. Saya justru membencinya. Saya sering terbangun dan mendapati tikus di samping saya. Pernah saya bangun, seekor tikus bermain di pakaian dan kantong kami. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain bersabar,” ujarnya.

Ancaman Kesehatan yang Nyata
Kondisi tersebut berdampak langsung pada kesehatan keluarga, terutama anak-anak. Abu Laila mengaku terpaksa membawa putrinya ke rumah sakit akibat infeksi kulit yang dipicu lingkungan tercemar.

“Yang paling menyakitkan bukan rasa takut, tapi rasa tak berdaya,” katanya. “Saya menangis. Bagaimana mungkin seseorang yang dulu mengajar di universitas kini tidur di tempat sampah bersama anak-anaknya?”


Tenda Terendam Air Limbah
Memasuki musim dingin, penderitaan mereka bertambah. Hujan mengguyur tenda yang berdiri di area lebih rendah dibandingkan tumpukan sampah di sekitarnya. Air bercampur limbah dan kotoran menggenangi tempat tinggal mereka.

“Air hujan masuk karena posisi tenda lebih rendah, sementara tempat sampah sekitar 10 sampai 12 meter lebih tinggi. Air kotor naik hingga 40 sentimeter, merendam pakaian dan barang-barang anak-anak,” tutur Abu Laila.

Hidup Tanpa Perlindungan
Istri Abu Laila menggambarkan kehidupan harian keluarga mereka sebagai perjuangan tanpa perlindungan. Tidak ada dapur, tidak ada tempat bersih untuk memasak atau menyimpan makanan.

“Serangga dari tempat sampah beterbangan ke makanan kami. Kami tujuh orang hidup di tengah kotoran dan kuman. Tenda ini tak melindungi dari anjing, kucing, atau serangga,” katanya.

Dia menambahkan, anak-anak sering terbangun ketakutan di malam hari akibat suara anjing dan kucing yang berkeliaran di sekitar tenda. Tidur nyenyak, kata dia, menjadi kemewahan yang tak lagi mereka kenal.

Seruan Menjelang Tahun Baru
Di akhir liputan, Abu Laila menyampaikan pesan kepada dunia menjelang pergantian tahun. Dalam bahasa Inggris, ia menyerukan penghentian perang dan menegaskan bahwa penderitaan warga Gaza belum berakhir.

“Hentikan perang. Perang ini belum selesai, dan kami masih terus menderita,” ujarnya.

Sumber: Al Jazeera Mubasher

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here