Larangan masuknya bahan bakar ke Jalur Gaza oleh Israel memperdalam krisis kemanusiaan menjadi darurat kesehatan yang kian kompleks. Di tengah kepungan blokade, para pengungsi kehilangan akses paling dasar untuk memasak dan menghangatkan tubuh, memaksa mereka menempuh jalan berbahaya demi sekadar bertahan hidup.

Di dalam tenda-tenda pengungsian, sisa plastik, kardus, dan limbah menjadi bahan bakar darurat. Asap hitam mengepul dari tungku-tungku seadanya, menandai ironi hidup di wilayah yang telah lebih dari dua tahun tercekik.

Laporan jurnalis Al Jazeera, Hani Al-Shaer, dari lokasi pengungsian memperlihatkan warga menyalakan api dengan potongan plastik dan kayu kecil, tanpa pilihan yang aman atau sehat.

Krisis bahan bakar memukul seluruh sendi kehidupan. Harga kayu bakar melambung akibat kelangkaan, sementara pencarian plastik dan kayu dari tempat pembuangan sampah menyita waktu dan tenaga keluarga pengungsi. Mereka terpaksa mendatangi lokasi-lokasi berisiko di pinggir kamp, meski sadar dampak racun dan penyakit yang mengintai.

Peringatan keras datang dari Wali Kota Khan Younis, Alaa al-Din al-Batta. Ia menegaskan, kelangkaan bahan bakar mengancam layanan publik, terutama sektor kesehatan. Pengurangan pasokan juga melumpuhkan pengangkutan puing dan layanan dasar kota.

Harapan akan aliran bahan bakar normal pascagencatan senjata pupus; pasokan justru terus dipangkas. Kebutuhan harian diperkirakan 4.000–5.000 liter, namun yang masuk tak lebih dari 500 liter per hari.

Bahan Bakar dari Plastik, Solusi Berbahaya

Di tengah kebuntuan, sebagian warga mengembangkan cara ekstrem: menyuling plastik menjadi cairan mirip bensin. Sejak subuh, mereka mengumpulkan plastik dari tempat sampah, lalu membakarnya dalam drum tertutup. Uap dialirkan melalui pipa spiral hingga mengembun menjadi cairan campuran bensin dan minyak berat.

Seorang pekerja mengaku telah menekuni pekerjaan berisiko ini selama dua tahun demi menghidupi keluarga. Dari pagi hingga larut malam, ia menghadapi ancaman keracunan, luka bakar, hingga ledakan mematikan. Namun, ia tak melihat alternatif lain di bawah blokade yang menutup semua pintu kerja.

Ironisnya, bahan bakar beracun ini kini digunakan secara luas. Para pelaku menyebut sekitar 95 persen generator dan kendaraan di Gaza bergantung padanya, termasuk rumah sakit, ambulans, dan tenaga medis yang terus melayani warga di tengah kehancuran.

Janji Gencatan Senjata yang Tersendat

Ketidakpastian menyelimuti fase kedua perjanjian gencatan senjata yang diumumkan di Sharm el-Sheikh pada 9 Oktober 2025. Tahap ini dinilai paling rumit, terjerat persoalan keamanan, politik, dan kemanusiaan. Di lapangan, komitmen kemanusiaan tak terpenuhi. Dari 37.200 truk bantuan yang dijanjikan, hanya 14.534 yang diizinkan masuk.Pasokan

Pasokan bahan bakar lebih memilukan: 315 truk dari target 3.000, rata-rata lima truk per hari dari seharusnya 50.Di Gaza, asap plastik bukan sekadar tanda krisis energi. Ia adalah penanda kegagalan kemanusiaan, ketika sebuah wilayah dipaksa memilih antara racun di paru-paru atau dingin yang mematikan.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here