Ibrahim Farhat, warga Shujaiya, timur Kota Gaza, terkejut saat mendengar suara tank. Ketakutannya bertambah saat melihat alat militer Israel mendorong kubus kuning beberapa puluh meter ke depan.
“Kubus kuning itu sebelumnya sekitar satu kilometer dari rumah kami. Ini sangat berbahaya,” katanya. Tembakan sudah mencapai rumahnya.
Kubus beton kuning, yang ditempatkan malam-malam di depan rumah warga, menandai posisi yang rawan, berbatasan langsung dengan jalur mundur pasukan Israel berdasarkan fase pertama perjanjian gencatan senjata.
Salah satu korban dampak garis ini, Salem al-Jarjawi, tinggal 700 meter dari jalur tersebut di kamp pengungsian Shujaiya. Kini, ia dan keluarganya berada hanya beberapa langkah dari alat-alat militer yang tak berhenti menembak malam hari.
“Seminggu lalu kami bahkan tidak bisa menatap siang karena tembakan dan artileri. Kami tidak mampu mengungsi lagi. Serangan semakin intens dan menakutkan,” ungkapnya.
Setiap langkah warga tampak terpantau ketat oleh kendaraan dan drone militer. Sebelumnya, ledakan hanya terjadi di jarak lama, kini pecahannya mencapai kamp pengungsian.
Sejauh mata memandang, Shujaiya rusak parah. Pos militer Israel di Bukit Al-Muntar mengawasi area luas, dan jarak antara kamp pengungsian dan pos militer membuat gerak warga sangat terbatas.
Pengungsian Tanpa Tujuan
Fadi Harara menyaksikan tank Israel memindahkan kubus kuning ke depan. Seperti warga lainnya, ia memutuskan meninggalkan rumah tanpa tujuan pasti, takut pasukan Israel bergerak lebih dekat ke tempat tinggalnya.
Akrim Jarada, tetangganya, mengatakan: “Sejak 7 Oktober 2023, saya pindah 16 kali dari jalan ke jalan, dari kota ke kota, dari utara ke selatan.”
Menurutnya, Israel ingin terus berada di zona garis kuning, menimbulkan ancaman bagi warga, anak-anak, perempuan, lansia, dan pasien.
Meski Israel mengklaim ini sekadar “penandaan garis kuning” untuk menentukan area kontrolnya, lebih dari setengah Gaza kini berada di bawah kendali militer.
Keluarga Terperangkap
Wall Street Journal melaporkan bahwa Israel menambah pos militer di sepanjang garis kuning, yang menandai batas penarikan pasukan. Dengan perluasan ini, ratusan keluarga terjebak karena tidak mampu mengungsi dari maju-mundurnya tank.
Langkah ini menyusul pembunuhan 25 warga Palestina dalam serangan udara di Gaza dan Khan Younis, menambah pelanggaran gencatan senjata yang telah dilakukan lebih dari 500 kali, menewaskan lebih dari 300 warga dan melukai ratusan lainnya.
Strategi Penekanan Sistematis
Ahli militer Rami Abu Zubaida menyebut pergerakan Israel di Gaza timur adalah strategi bertahap dan terencana, bukan taktik sementara. Tujuannya adalah menciptakan fakta baru di lapangan di bawah perlindungan gencatan senjata.
Perluasan garis kuning memberi Israel kemampuan lebih besar untuk mengawasi, mengontrol, dan menekan kawasan sipil serta ekonomi, menjadikan wilayah itu alat tekanan politik dalam negosiasi masa depan.
Abu Zubaida menegaskan: ini bukan sekadar kemajuan lapangan terbatas, melainkan upaya merancang ulang peta Gaza secara militer, dengan konsekuensi pengungsian ratusan keluarga dan meningkatnya krisis kemanusiaan.
Saat ini, Israel mempertahankan sekitar 40 pos militer aktif di wilayah belakang garis kuning, yang ditetapkan pada fase pertama gencatan senjata. Warga Gaza yang tinggal di dekatnya terpaksa menghadapi ancaman terus-menerus dan keterbatasan gerak.










