Sementara dunia terpaku pada krisis di Gaza, laporan hak asasi dan kesaksian warga Palestina mengungkap bahaya besar yang tengah menimpa Tepi Barat. Dari ekspansi permukiman ilegal hingga serangan pemukim dan percepatan pengusiran paksa, gambaran jelas tentang kejahatan yang mendorong warga Palestina keluar dari tanah mereka mulai terkuak.

Dalam briefing media yang diselenggarakan oleh organisasi internasional Crisis Action di New York, kemarin Senin, pakar hak asasi dan tokoh masyarakat berbagi pengalaman langsung dari desa-desa di Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan. Mereka memaparkan penggerebekan rumah, pengusiran paksa, dan hambatan terhadap bantuan kemanusiaan yang kian menyesakkan.

Kesaksian berulang menegaskan satu hal: yang terjadi di Tepi Barat bukan serangkaian insiden terpisah, melainkan proses aneksasi progresif yang menggunakan kekerasan militer untuk mengubah geografi sekaligus demografi.

Pengusiran 53 Komunitas
Busrā al-Khalidi, pejabat kebijakan Oxfam di Palestina, menyebut ekspansi Tepi Barat terus berlangsung di lapangan, meski upaya diplomasi internasional mencoba menutupi atau meredamnya. “Negara-negara harus berhenti bersembunyi di balik bahasa politik yang ambigu. Kekerasan terhadap warga Palestina dan pengusiran paksa tidak bisa dinormalisasi,” ujarnya.

Pengacara hak asasi Amerika Allegra Pacheco menambahkan, setidaknya 70 km² wilayah di timur Al-Quds dan kawasan Tepi Barat telah dianeksasi, dengan pengusiran 53 komunitas—mayoritas nomaden—memaksa ribuan orang melarikan diri demi menyelamatkan nyawa dari serangan pemukim. Di kota-kota Tepi Barat, sekitar 35 ribu warga telah dipaksa meninggalkan kamp pengungsi sejak Januari 2025, terutama di Jenin dan Tulkarm.

Pacheco menegaskan, klaim Presiden Donald Trump yang menyatakan “tidak ada aneksasi” sama sekali salah. “Yang terjadi nyata, dan ini berarti penguasaan permanen oleh kekuatan pendudukan. Hal ini jelas melanggar hukum internasional dan tidak bisa dijadikan ‘harga’ untuk gencatan senjata di Gaza.”

Kesaksian Pribadi yang Menggetarkan
Aliya Mlihāt dari Lembah Yordan menceritakan pengusiran paksa keluarganya dari kamp pengungsi Areeha dan daerah al-Ma‘rajāt setelah serangan pemukim Juli lalu. “Pemukim menggerebek rumah, mencuri ternak, menembak, mengancam perempuan, dan berdalih membela diri,” ujarnya. Mlihāt kini bekerja dengan komunitas nomaden untuk mempertahankan tanah dan mata pencaharian mereka.

Dari Desa Tuwwāna, Hebron, aktivis Mohammad Al-Harini menyebut dokumentasi mereka sebagai “konfrontasi terbuka,” merujuk pada film dokumenter No Other Land yang memenangkan Oscar Februari lalu. Film ini bukan sekadar karya seni, melainkan pengungkapan realitas pembersihan etnis dan segregasi yang dilakukan pemukim. Al-Harini sendiri mengalami kekerasan dan beberapa kali ditangkap sejak usia 14 tahun.

Tanggung Jawab Internasional
Pacheco menegaskan hak warga Palestina atas perlindungan terhadap kekerasan sehari-hari. “Jika seorang warga Palestina menolak pemukim yang masuk rumahnya, dia bisa ditangkap atau ditembak,” ujarnya. Militer Israel sering terlibat atau pasif saat pemukim menyerang warga Palestina, sehingga perlindungan internasional mendesak, termasuk kehadiran pasukan perdamaian seperti di Gaza.

Busrā al-Khalidi menambahkan, diplomasi halus tidak mengubah fakta: apa yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hak, melainkan kebijakan yang menghancurkan kemungkinan berdirinya negara Palestina yang layak. “Tanpa akuntabilitas, pendudukan menjadi otomatis, dan bantuan kemanusiaan hanyalah perban di luka yang sengaja dibiarkan terbuka,” katanya.

Dalam penutup briefing, disampaikan pesan tegas: akuntabilitas bukan simbolis, melainkan penyelamat nyawa. Seruan utama termasuk menghentikan perdagangan dengan permukiman ilegal, memastikan kepatuhan terhadap hukum internasional, dan mendukung mekanisme pengawasan yang nyata, menegaskan bahwa hak-hak warga Palestina tidak bisa dinegosiasikan atau dipilih-pilih.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here