Di antara anak-anak yang berlarian di sebuah sudut Gaza, tawa Yazan terdengar nyaring. Ia tampak seperti bocah lain seusianya, penuh energi, lincah, seolah hidup tanpa bayang-bayang gelap yang menyelimuti kotanya. Sekilas, tak ada yang menunjukkan bahwa ia memikul luka yang tak terbayangkan.

Namun, kenyataannya berbeda: Yazan Muadz Ghurab menyandang gelar yang tak pernah diimpikan seorang anak, satu-satunya yang selamat. Pada 20 Juli 2024, sebuah serangan udara Israel menghantam rumah keluarganya. Dalam hitungan detik, ayahnya, Muadz; ibunya, Alaa; dan adik perempuannya, Farah, gugur. Yazan ditemukan di bawah reruntuhan, terluka, terbaring di sisi adiknya yang sudah tak bernyawa.

Lahir pada 2017, enam tahun sebelum perang genosida terbaru dimulai, hidup Yazan sebenarnya tak pernah benar-benar bebas dari kekerasan. Ia melewati serangan besar 2021, juga berbagai eskalasi yang membentuk keseharian warga Gaza: dentum bom, evakuasi mendadak, dan ketidakpastian yang menjadi rutinitas.

Mereka Bukan Angka

Keluarga kecil Yazan tidak bisa direduksi menjadi statistik, satu keluarga dari sekian ribu yang terhapus. Mereka adalah keluarga yang percaya pada masa depan, menata hidup dengan kesungguhan, dan mencoba menciptakan ruang kecil yang layak di Gaza yang terus terluka.

Muadz, ayah Yazan, adalah lulusan unggulan jurusan Teknologi Laboratorium Medis dari Universitas Islam Gaza. Ia tak pernah mendapat kesempatan bekerja di bidangnya, meski telah menghabiskan waktu bertahun-tahun sebagai relawan di berbagai laboratorium, dari pemerintah hingga swasta. Demi menghidupi keluarga, ia akhirnya berdagang di toko milik keluarga.

Meski begitu, ambisinya tak padam. Ia tengah bersiap melanjutkan studi pascasarjana, langkah yang didorong penuh oleh sang istri. Orang-orang terdekat mengenangnya sebagai pribadi pendiam, penuh kasih, dan bertanggung jawab. Ia menempatkan keluarga sebagai pusat hidupnya, dan selalu berusaha hadir bagi siapa pun di sekitarnya.

Alaa, ibu Yazan, dikenal sebagai sosok yang tak pernah berhenti bermimpi. Ia meniti pendidikan dan kariernya dengan disiplin, hingga akhirnya menjadi guru, profesi yang ia jalani dengan cinta dan ketelitian. Ia merancang masa depan Yazan dan Farah dengan penuh harapan, membayangkan mereka tumbuh sebagai generasi yang lebih kuat dan lebih mampu membangun Gaza.

Bagi orang-orang yang mengenalnya, Alaa adalah pribadi yang hangat, percaya diri, dan selalu meninggalkan kesan baik di mana pun ia berada.

Pesan yang Harus Diteruskan: Yazan, Dokter atau Guru yang Tidak Pernah Mereka Lihat Dewasa

Setelah malam tragis itu, Yazan menjalani hidup baru: tinggal bersama kakek, nenek, dan para pamannya, tanpa kedua orang tua, tanpa adik, dan tanpa arah yang jelas. Ia sempat mengenyam kelas satu SD selama sebulan sebelum perang kembali memutus akses pendidikan.

Kini, meski usianya sudah memasuki tahap kelas tiga, ia belum memiliki fondasi belajar yang memadai, sebuah kenyataan yang dialami hampir seluruh anak Gaza akibat hancurnya sekolah-sekolah di wilayah itu.

Neneknya kini mengambil peran sebagai ibu. Ia mengajar Yazan seperti dulu ia mengajar ayahnya. Ia mencoba bersabar menghadapi tingkah aktif cucunya, mencoba menutup jurang ketertinggalan yang tercipta oleh perang. Setiap tugas yang diberikan pusat pembelajaran tempat Yazan bernaung menjadi upaya kecil untuk merawat masa depannya di tengah puing-puing.

Yazan hari ini adalah anak yang kehilangan ayah dan ibu sekaligus. Keriuhan siang hari mungkin menutupi rasa sakit itu untuk sementara, tetapi waktu kelak menyodorkan kenyataan yang lebih sunyi: beban menjadi yatim piatu dalam satu malam.

Keluarganya percaya, bila hidup memberi ruang, Yazan mungkin akan meneruskan mimpi ibunya,menjadi dokter suatu hari nanti, atau guru yang menginspirasi. Namun, mereka juga memahami bahwa realitas Gaza hari ini tak mudah: bukan hanya karena Yazan kehilangan kedua orang tuanya, tetapi karena seluruh kota itu menghidupi luka yang tak kunjung sembuh.

Kisah Ini Belum Selesai

Kisah Yazan baru saja dimulai. Masa depannya sedang ditulis ulang oleh keadaan yang tak ia pilih. Tapi kisah keluarganya (keluarga yang terhapus dalam sekejap) perlu terus diceritakan. Mereka bukan statistik, bukan catatan pinggir dari perang berkepanjangan.

Mereka adalah cerita tentang harapan, kesungguhan, dan keinginan untuk hidup, cerita yang dihancurkan serangan, tetapi tidak pernah benar-benar padam. Karena selalu ada bagian yang tetap hidup: keberanian untuk bertahan, dan keyakinan bahwa masa depan tetap mungkin, meski dunia mencoba menghapusnya.

Kisah Yazan akan berlanjut. Dan Gaza, dengan segala kehilangan yang tak terhitung, masih menyimpan bab yang belum ditulis.

Sumber: Media Palestina

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here