“Saya berteriak: Demi Allah, berhenti memukul, saya akan pergi! Tapi tidak ada gunanya, setiap kali saya berteriak, mereka semakin brutal.” Dengan suara lemah dan tangan kanan diperban, jurnalis foto Ranin Sawafteh mengenang momen ketika nyawanya nyaris melayang di tangan para pemukim Israel. Ia dibawa ke ruang gawat darurat RS Rafidia di Nablus setelah diserang secara brutal saat meliput musim panen zaitun di Desa Beita, utara Tepi Barat.

Ranin menuturkan bahwa para jurnalis yang datang untuk meliput kegiatan warga menjadi target langsung serangan pemukim.

“Mereka tidak menyerang secara acak. Mereka menyerang untuk membunuh,” ujarnya.

Saat itu, warga Beita ditemani sejumlah relawan internasional untuk memanen zaitun di wilayah Jabal al-Qamas. Namun, tak lama kemudian, sekelompok pemukim bersenjata tongkat dan batu menyerang, terutama membidik awak media, termasuk Ranin.

Dengan peralatan berat dan rompi pelindung di tubuh, Ranin tak sempat melarikan diri. Ia jatuh di tanah yang curam, lalu dikeroyok lebih dari lima pemukim yang memukulinya tanpa ampun, terutama di bagian kepala dan tangan kanannya, tangan yang biasa menggenggam kamera.

“Semakin saya kesakitan, semakin keras mereka memukul,” katanya, seperti terlihat dalam video yang tersebar dari ruang gawat darurat.

Akibatnya, Ranin mengalami tiga patah tulang di siku kanan dan luka di pinggang. Batu yang dilemparkan ke kepalanya menghancurkan helm pelindung. “Rompi pers inilah yang menyelamatkan saya dari kematian,” ucapnya lirih.

Ranin bukan wajah baru dalam risiko. Selama bertahun-tahun menjadi fotografer berita, ia kerap mengalami penembakan, pemukulan, penahanan, hingga pelarangan liputan oleh tentara Israel. Tapi serangan para pemukim kali ini, katanya, “adalah yang paling brutal sepanjang karier saya.”

“Mereka Tidak Diatur oleh Hukum Apa Pun”

Nasib serupa dialami fotografer Nasser Ishtayeh, yang turut menjadi korban dalam insiden yang sama. Saat mendokumentasikan serangan terhadap Ranin, sebuah batu besar menghantam lehernya, melukai saraf utama dan membuatnya terjatuh berulang kali saat berusaha mundur.

“Sekitar 30 hingga 40 pemukim menyerang kami secara langsung, semuanya membawa batu dan tongkat,” ujarnya kepada Al Jazeera Net. “Selama 33 tahun bekerja di lapangan, saya belum pernah melihat kekerasan sekejam ini.”

Dua bulan sebelumnya, Ishtayeh juga diserang di Lembah Yordan; kameranya dicuri, mobilnya dirusak, dan ia dipukuli. Ia menegaskan, pemukim Israel adalah ancaman paling berbahaya bagi jurnalis Palestina, karena mereka “tidak tunduk pada hukum dan tidak dapat dituntut.”

Lebih dari 100 Serangan terhadap Jurnalis

Selain Sawafteh dan Ishtayeh, kekerasan serupa juga menimpa koresponden Al Jazeera Muhammad Al-Atrash, fotografer Luay Al-Saeed, dan fotografer kantor berita China Xinhua, Nael Bouytel.

Menurut Ayman Al-Noubani, anggota Serikat Jurnalis Palestina, serangan terhadap jurnalis meningkat tajam sepanjang tahun lalu, terutama di wilayah yang menjadi titik panas aksi kekerasan pemukim.

“Kami telah menyaksikan upaya pembunuhan nyata terhadap jurnalis. Hari ini, tak ada yang benar-benar bisa melindungi jurnalis Palestina di lapangan,” ujarnya.

Catatan serikat menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir telah terjadi lebih dari 100 serangan oleh pemukim terhadap jurnalis Palestina. Beberapa di antaranya mematikan, seperti pembunuhan fotografer Anadolu, Issam Rimawi, dan pembakaran mobil fotografer Jaafar Ishtayeh untuk mencegah peliputan.

Meskipun lembaga jurnalis Palestina bekerja sama dengan Federasi Jurnalis Internasional dan organisasi HAM dunia, kekerasan terus berlanjut, lebih brutal, lebih terorganisir, dan tanpa hukuman.

“Mereka Menyusun Perangkap untuk Membunuh Kami”

Muhammad Al-Atrash, koresponden Al Jazeera, juga menjadi sasaran langsung. Ia menuturkan bagaimana ia dan rekan-rekannya dikepung pemukim bersenjata ketika meliput di daerah berbukit.

“Kami sudah menyiapkan rencana darurat untuk mundur jika ada bahaya, tapi kali ini serangannya terlalu besar,” katanya. “Mereka datang dari segala arah. Saya terjebak di tengah-tengah mereka. Batu menghujani saya tanpa henti. Saya hanya bisa melompat ke lembah untuk menyelamatkan diri.”

Dalam pelariannya, Al-Atrash mendengar teriakan pemukim, “Kami membunuh jurnalis itu!” Saat itulah ia sadar: serangan itu bukan spontan, tapi perangkap yang direncanakan untuk membunuh para jurnalis Palestina.

Ia menambahkan, “Video yang beredar hanya memperlihatkan 30 detik pemukulan Ranin, tapi kenyataannya mereka memukulinya selama lebih dari lima menit. Tujuannya jelas: membunuh.”

Bagi Al-Atrash (yang pernah ditahan dan disiksa di penjara Israel) kekerasan ini hanyalah bagian dari pola yang lebih besar: membungkam saksi dan menghentikan suara yang merekam kebenaran.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here