Suatu pagi, ketika fajar baru saja menyingsing, Syahd Majid Hasan (anak perempuan berusia empat tahun) terbangun oleh suara teriakan dan derap sepatu tentara Israel di rumahnya. Ia hanya melihat bayangan-bayangan berseragam menodongkan senjata, lalu menyeret ibunya ke tempat yang baru kemudian ia tahu bernama penjara.

Hari itu, Syahd kehilangan dua benteng sekaligus: pelindung batinnya (sang ibu) dan pertahanan tubuhnya sendiri. Ia jatuh sakit berbulan-bulan karena infeksi tenggorokan yang tak kunjung sembuh, penyakit yang, menurut keluarganya, lebih banyak lahir dari rindu ketimbang virus.

Tiga puluh satu tahun berlalu.
Delapan bulan lalu, pintu rumah yang sama di Ramallah kembali digedor pasukan Israel. Tapi kali ini bukan ibunya, bukan ayahnya, melainkan Syahd sendiri yang mereka tangkap.

“Semua orang terkejut,” katanya kepada Al Jazeera Net, dua hari setelah ia dibebaskan dari penahanan administratif selama delapan bulan, tanpa dakwaan, tanpa pengadilan. “Aku masih ingat wajah ayah dan saudaraku ketika sadar bahwa kali ini, giliranku yang dibawa.”

“Aku Tak Pernah Bayangkan Melihat Putriku Diculik”

Bagi keluarga Hasan, penculikan bukan hal baru. Sejak 1990, rumah itu telah disatroni tentara Israel berkali-kali. Tapi menurut sang ayah, Majid Hasan (62 tahun), penculikan Syahd adalah yang paling menghancurkan.

“Aku sudah pernah ditahan, begitu juga istriku, anak-anak lelakiku, bahkan salah satu anak perempuanku. Tapi aku tak pernah sangka akan melihat saat ketika Syahd (si bungsu) ditangkap juga,” ujarnya.

Keluarga Hasan tak pernah berkumpul lengkap sejak 1990. Saat itu Majid ditangkap untuk pertama kali, hanya empat bulan setelah kelahiran putri sulungnya, Tasnim. Sejak itu, penahanan bergantian antara ayah, ibu, dan anak-anaknya menjadi rutinitas yang tragis, semacam ritual pendudukan yang menolak berakhir.

Bahkan ketika Majid bebas pada 2012, kedamaian tak bertahan lama. Pada 2019, Israel kembali melanjutkan “serial penangkapan” keluarga Hasan, dimulai dengan putra sulung mereka, Muhammad.

Satu Foto, Satu Bulan, Satu Keluarga Lengkap

Tahun 2023 sempat membawa harapan singkat. Setelah Muhammad dibebaskan, keluarga Hasan untuk pertama kalinya berkumpul lengkap selama satu bulan, cukup untuk berfoto bersama di wisuda universitas Muhammad.

Foto itu kini menjadi dokumen langka, simbol sesaat dari keluarga yang selalu dipecah-pecah oleh penjara.

Harapan itu segera pupus ketika perang genosida di Gaza meletus pada Oktober 2023. Pasukan pendudukan kembali melakukan penggerebekan besar-besaran di Tepi Barat. Rumah keluarga Hasan kembali jadi sasaran.

Rumah Tanpa Ayah dan Ibu

Putri sulung mereka, Tasnim, tumbuh tanpa ayah di setiap perayaan kelulusan dan ulang tahun.

“Tidak ada satu pun acara penting yang ayahku hadiri,” katanya.

Pada 2007, giliran ibunya, Nada al-Jiyusi, ditangkap selama enam bulan karena bekerja di lembaga amal. Ironisnya, penangkapan itu terjadi hanya sebulan setelah suaminya dibebaskan. Tiga bulan kemudian, Majid kembali dijebloskan ke penjara, meninggalkan sembilan anak sendirian di rumah.

Tasnim, yang baru berusia 16 tahun saat itu, harus menjadi pengganti orang tua bagi delapan adiknya.

“Adikku Syahd jatuh sakit selama lima bulan. Dokter bilang ia butuh operasi, tapi begitu ibu dibebaskan, semua gejala penyakitnya hilang. Ia sembuh hanya karena bisa memeluk ibu lagi,” kenangnya.

Anak-anak yang Didewasakan Penjara

Sejak 2019, penahanan bergeser dari orang tua ke anak-anak. Muhammad ditangkap empat kali, disusul adiknya, Abdul Majid, kemudian Shadha selama setahun penuh, lalu Saleh, yang hingga kini masih dipenjara. Terakhir, Syahd yang baru dibebaskan dua hari lalu.

Akibatnya, kuliah mereka berantakan.
“Semua adikku terlambat lulus karena penangkapan,” kata Tasnim. “Itu juga mempersulit mereka mencari kerja setelahnya.”

Setelah 7 Oktober: Penjara yang Lebih Brutal

Syahd mengatakan pengalaman penahanannya jauh lebih keras dari cerita kakak-kakaknya. “Apa yang kudengar dari mereka dan ayah tentang penjara, semuanya tak sebanding dengan yang kualami sendiri,” ujarnya.

Menurutnya, setelah 7 Oktober 2023, kondisi penjara bagi tahanan Palestina (terutama perempuan) memburuk drastis. Para sipir memaksa mereka tidur dengan hijab, memberi makanan dalam porsi minim, dan memperlakukan mereka dengan kekerasan setiap kali dilakukan penghitungan napi yang diulang beberapa kali sehari.

Namun ada satu hal yang menguatkannya: sesama tahanan perempuan yang pernah dikenal melalui kisah Shadha. “Mereka menyambutku seperti saudara,” katanya.

Antara Harapan dan Penantian

Hari pembebasannya pun diwarnai ketegangan. Tentara Israel berulang kali mengubah lokasi pembebasannya, menunda hingga sore hari.

“Aku sempat yakin mereka membatalkan keputusannya,” ujarnya.

Syahd akhirnya bebas pada 22 Oktober, meski penahanannya sempat diperpanjang beberapa hari. Ia disambut pelukan kakaknya, Shadha, yang tak berhenti berkata: ‘Aku merasa ini mimpi’.

Namun kebahagiaan itu belum utuh. Saleh, anak bungsu keluarga Hasan, masih berada di penjara.

Keluarga itu kini hanya bisa berharap, untuk pertama kalinya dalam 35 tahun, rumah mereka akan kembali penuh, tanpa bayangan seragam militer, tanpa ketukan pintu di tengah malam.

Sumber: Al Jazeera Net

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here