Di tepi utara kamp Jabalia, hanya beberapa puluh meter dari “garis kuning” yang ditetapkan dalam perjanjian gencatan senjata, Najah Abu Seif berdiri di antara reruntuhan yang dulu ia sebut rumah.
“Aku kembali ke sini segera setelah gencatan senjata diumumkan,” katanya kepada Al Jazeera Net. “Aku tak bisa hidup di luar Jabalia, meski semuanya hancur.”
Namun hidup di kamp bukan hanya tentang bertahan, tapi juga mempertaruhkan nyawa. Drone Israel terus berputar di langit, mengawasi, menembak sewaktu-waktu. Air pun menjadi masalah paling mendesak. Truk air enggan masuk karena takut jadi sasaran tembak.
“Saya sudah tua, tapi tetap harus berjalan satu kilometer ke arah Fakhoura, tujuh kali sehari, hanya untuk membawa air,” ujar Abu Seif. “Ini jihad dan kelelahan. Tapi kami tak akan pergi lagi. Saya tak akan meninggalkan kamp.”
Kota yang Jadi Reruntuhan
Masuk ke wilayah utara Gaza kini seperti melangkah ke kota yang mati. Rumah-rumah rata, jalan tertutup puing, dan sesekali terdengar letusan senjata dari kejauhan. Sejak gencatan senjata berlaku pada 11 Oktober lalu, hanya segelintir warga yang berani kembali. Mereka hidup dalam ketakutan dan kekurangan.
“Tidak ada keamanan,” kata warga setempat. “Tentara Israel menembak siapa pun yang mendekati garis kuning.”
Garis itu, hasil dari perjanjian yang dimediasi Amerika Serikat, mencaplok sekitar 53 persen wilayah Gaza, termasuk area perbatasan selatan, timur, dan utara. Siapa pun yang melintasinya berisiko ditembak.
Menurut Ismail al-Thawabta, Direktur Kantor Media Pemerintah di Gaza, sejak 11 Oktober, Israel telah membunuh 240 warga Palestina dan melukai 607 lainnya, meski secara formal perang “telah berhenti.”
Mereka Kembali, tapi Sendirian
Ibrahim al-Ar kembali ke rumahnya di Jabalia sendirian. “Istri dan anak-anakku masih di pengungsian di selatan,” ujarnya. “Kondisi di sini terlalu berbahaya.”
Ia mengangkat pandangan ke langit, ke arah drone yang terus berputar. “Aku tak bisa membawa mereka ke sini. Tak ada air, tak ada pasar. Kalau ingin membeli sesuatu, aku harus berjalan tujuh kilometer ke Gaza City.”
Cerita serupa datang dari Ibrahim al-Habbash, yang juga kembali tanpa keluarganya. “Aku pulang sendirian. Alasannya sederhana: tidak ada air,” ujarnya. Truk-truk air datang sebentar lalu pergi, takut diserang. “Mereka hanya berhenti 10 menit. Tak cukup bagi warga untuk mengisi jerigen.”
“Perang Belum Selesai”
Di kota tetangga Beit Lahia, pemandangannya sama. Rumah-rumah hancur, dan gencatan senjata hanyalah nama.
“Kami tidak merasa perang sudah berakhir,” kata Tamadhur Tanbura. “Setiap hari ada tembakan, peluru dari tank atau drone, atau tembakan dari derek bersenjata tinggi. Di mana gencatan senjata itu?”
Tanbura menolak mengungsi lagi. “Kami kembali karena ini tanah kami. Kami akan tetap di sini meski rumah kami hancur.” Separuh wilayah Beit Lahia kini berada di luar garis kuning, dan hanya sedikit yang berani kembali.
Air, katanya, adalah “krisis kehidupan.” Banyak warga bergantung pada sumur air asin, dan mereka yang kembali melakukannya hanya karena di dekatnya ada sedikit sumber air. Ambulans jarang masuk. Siapa yang terluka, sering kali mati di tempat.
Antara Puing dan Kelaparan
Di Nazla, seorang pria muda bernama Farid al-Hadi memecah reruntuhan rumahnya dengan palu besi. “Aku mencoba mencari pakaian untuk anak-anakku,” katanya. “Kami pergi tanpa membawa apa pun.”
Ia berhenti sejenak, napasnya berat. “Musim dingin datang, aku tak bekerja, kami miskin.” Ia menunjuk puing-puing kayu di dekatnya. “Aku memecah perabot rumah untuk dijadikan kayu bakar.”
Daerah yang Dinyatakan “Bencana Total”
Menurut Saadi al-Dabbur, pejabat hubungan masyarakat di Balai Kota Jabalia, wilayah utara Gaza kini resmi dinyatakan zona bencana.
“Semua hancur,” ujarnya. Dari empat area di bawah otoritas Jabalia (kota, kamp, Nazla, dan wilayah barat) tiga di antaranya rata dengan tanah. “Wilayah barat pun hancur 70 persen.”
Infrastruktur tak luput: seluruh sumur air, jaringan sanitasi, jalan, dan kendaraan layanan publik rusak total.
“Air hampir tak ada, sampah menumpuk, tak ada jalan, tak ada kendaraan. Bahkan tak bisa mendirikan tenda,” katanya. “Ini bukan sekadar kehancuran, ini hidup di antara bahaya dan kehausan.”
Sumber: Laporan Lapangan Al Jazeera dari Jabalia









