Ketika telepon dari kantor Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, mengabarkan kabar gembira itu (bahwa ia terpilih sebagai penerima Penghargaan Besar Bidang Kebudayaan dan Seni) fotografer Palestina Ali Jadallah hanya terdiam.

Di balik rasa bangga yang menyesak dada, terselip pilu yang tak terkatakan. Ia menjadi warga Palestina pertama yang menerima penghargaan bergengsi itu. Namun kebahagiaan itu terasa hampa, sebab sebagian keluarganya telah syahid dalam serangan Israel, dan sisanya kini tercerai-berai di pengungsian.

“Seandainya mereka masih di sini,” ujarnya pelan, “mereka pasti ikut tersenyum bersamaku.”

Tetap Bertahan di Gaza

Ketika perang baru meletus, hampir semua media internasional mengevakuasi wartawan mereka dari Gaza, sementara otoritas pendudukan melarang jurnalis asing masuk. Tapi Ali Jadallah memilih bertahan.

“Keputusan itu murni pribadi,” katanya kepada Al Jazeera Net. “Saya merasa dunia harus melihat Gaza dengan mata mereka sendiri, bukan lewat narasi buatan.”

Sebagai fotografer kantor berita Anadolu, Jadallah menyadari risikonya. Namun ia juga tahu: kebenaran butuh saksi.

“Yang terjadi di sini adalah genosida,” ujarnya tegas. “Dan genosida ini didokumentasikan oleh jurnalis Palestina yang hidup di bawah reruntuhan, kehilangan keluarga, menghadapi kelaparan, ketakutan, dan kekurangan segalanya.”

Bagi Jadallah, kepergian rekan-rekan asing justru melahirkan tanggung jawab baru. “Saya merasa memikul beban ganda,” ucapnya. “Saya harus merekam sebanyak mungkin sebelum semuanya hilang, sambil tetap berusaha selamat.”

Kini, ketika ia menengok ke belakang, tak ada penyesalan. “Saya tahu keputusan untuk tetap di Gaza adalah benar. Saya telah mengabdi kepada tanah air saya, kepada rakyat saya, dan kepada nurani saya.”

Ketika Fotografer Menjadi Korban

Bagi Jadallah, perang ini bukan sekadar liputan, melainkan luka pribadi. Rumahnya dihancurkan, ayah dan tiga saudaranya syahid, ibunya terluka parah, sementara istri dan anak-anaknya mengungsi keluar Gaza demi keselamatan.

“Setiap foto yang saya ambil memiliki makna yang berbeda sekarang,” katanya lirih. “Rasa sakit itu membuat gambar-gambar saya lebih jujur, tapi juga lebih berat untuk diambil.”

Selama dua tahun terakhir, lensa Jadallah menjadi saksi bisu penderitaan Gaza. Ia merekam wajah ibu yang memeluk jasad anaknya, reruntuhan rumah yang menjadi kuburan keluarga, dan para relawan medis yang berjuang di tengah hujan bom.

Salah satu fotonya yang paling dikenal adalah gambar seorang ibu berlari sambil menggendong bayinya, tubuhnya dibungkus selimut kuning, berlari dari kobaran ledakan.

“Itu terjadi dalam hitungan detik,” kenangnya. “Dia hanya ingin menutupi dirinya dan menyelamatkan anaknya dari neraka di langit.”

Foto itu kemudian menjadi ikon perang Gaza, disiarkan di berbagai media dunia sebagai simbol perlawanan dan penderitaan.

Mencari Kemanusiaan di Tengah Kematian

Dalam setiap potret, Jadallah selalu berusaha menemukan satu hal: “momen manusiawi di tengah kematian.”

“Saya ingin gambar saya berbicara kepada hati siapa pun yang melihatnya,” ucapnya. “Foto bisa menembus batas bahasa. Saya tidak ingin para korban menjadi angka, saya ingin mereka tetap manusia.”

Bagi Jadallah, setiap bidikan dimulai dari persiapan panjang: memahami medan, memantau situasi, menyiapkan peralatan, menebak arah bahaya. Tapi ia tahu, semua itu tak berarti apa pun di hadapan misil yang datang tiba-tiba.

“Kadang kamu hanya bisa berharap, bukan bersiap,” katanya dengan senyum getir.

Antara Fakta dan Kemanusiaan

Jadallah menolak “memperindah” tragedi lewat estetika foto. “Bagi saya, kebenaran harus tampil apa adanya,” tegasnya. “Tidak ada ruang untuk seni di antara serpihan tubuh manusia. Kreativitas di sini bukan soal keindahan, tapi soal kecepatan dan empati, bagaimana mengabadikan luka tanpa mengkhianati rasa kemanusiaan.”

Seperti warga Gaza lainnya, ia kerap tidur di jalan atau di tenda, bergulat dengan listrik yang nyaris tak ada, dan koneksi internet yang lemah. Ia tahu, hidupnya selalu di ambang maut.

“Israel menargetkan jurnalis untuk membungkam liputan,” katanya. “Dan saya sudah beberapa kali menghadapinya langsung.”

Namun yang paling sulit, katanya, bukan ancaman bom, melainkan menyaksikan penderitaan anak-anak.

“Tak ada yang bisa melupakan tatapan seorang anak yang memohon agar para dokter menyelamatkannya,” ujarnya dengan suara bergetar. “Dalam momen seperti itu, saya sering menurunkan kamera. Ada rasa yang tak sanggup diabadikan.”

Suara dari Gaza

Kini, setelah menerima penghargaan dari Turki, Ali Jadallah berharap dunia kembali menoleh ke Gaza, bukan karena piala, melainkan karena panggilan nurani.

“Ini bukan tentang saya,” tuturnya. “Ini tentang kebenaran yang harus tetap hidup.”

Ia menutup pesannya dengan seruan yang tajam namun lembut, “Kemanusiaan harus di atas segalanya. Dunia harus mendengar suara Palestina. Berdirilah bersama keadilan dan kebenaran, sampai kita semua menyaksikan Palestina yang merdeka.”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here