Meninggalkan kehidupan mapan yang telah ia jalani bertahun-tahun sebagai pengacara di California, Amerika Serikat, Yasser Al-Alqam kini memilih menetap di kampung halamannya, Turmus Ayya, Tepi Barat. Setiap tahun, ia bersama keluarganya dan para sahabat dari kalangan relawan internasional pergi ke ladangnya di sebelah timur desa untuk memanen buah zaitun, pohon yang ia anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari identitasnya sebagai orang Palestina.

Namun, pagi kemarin berbeda. Dalam hitungan menit, suasana damai di ladang itu berubah menjadi teror. Yasser, bersama rekannya, jurnalis independen Jasper Nathaniel, dan sekelompok relawan asing lainnya, harus berlari menyelamatkan diri dari serangan brutal para pemukim Israel yang menyerang para pemetik zaitun di sekitar desa.

Yasser sempat mencoba mengubah jalur untuk menghindari bentrokan. Namun sebuah jip militer Israel menghadang di tengah jalan. Tak lama setelah kendaraan itu pergi, lebih dari seratus pemukim muncul dari balik perbukitan, membawa tongkat, batu, dan kebencian.

“Begitu jip itu pergi, kami merasa ada bahaya. Benar saja, baru melaju seratus meter, puluhan pemukim menyerang kami secara tiba-tiba. Mereka menghancurkan mobil, memecahkan kaca, memukul siapa saja yang ada di depan mereka,” kata Yasser kepada Al Jazeera.

Dalam kekacauan itu, Jasper turun dari mobil untuk menolong seorang perempuan tua yang dipukul di kepala dengan tongkat sepanjang lebih dari satu setengah meter. Sementara Yasser berlari menolong relawan asal Swedia yang terkapar setelah dianiaya hingga tangannya patah, kakinya remuk, dan kepalanya berlumuran darah. Batu terus menghujani mobil mereka tanpa henti.

Melawan dengan Keberanian

Turmus Ayya, desa yang terletak di timur laut Ramallah dan Al-Bireh, telah menjadi sasaran serangan pemukim sejak Oktober 2023. Warga kemudian bersepakat untuk memanen zaitun secara berkelompok di lahan dekat permukiman ilegal “Shilo”, agar bisa saling melindungi.

Sekitar 85 persen warga Turmus Ayya adalah pemegang paspor Amerika Serikat. Mereka kerap melaporkan kekerasan yang mereka alami kepada Kedutaan AS, namun tak pernah ada tanggapan nyata.
“Setengah jam itu terasa seperti seumur hidup,” tutur Yasser. “Mereka menyerang dengan kebencian yang murni. Siapa pun di depan mereka, dipukul untuk dibunuh. Kau bisa lihat amarah itu di wajah mereka.”

Saat ditanya mengapa ia memilih hidup di kampungnya ketimbang kembali ke Amerika, Yasser menjawab dengan suara tegas, “Saya meninggalkan kemewahan di California karena tanah air punya hak atas kita. Kita punya pesan untuk disampaikan: kami tidak akan meninggalkan Turmus Ayya untuk pemukim. Saya lebih baik mati di rumah sendiri daripada hidup dalam pelarian.”

Kekerasan yang Terorganisir

Aktivis lokal Awad Abu Samra mengatakan, kekerasan para pemukim meningkat setelah diumumkannya gencatan senjata di Gaza. “Para pemukim yang mendirikan pos baru di antara desa Al-Mughayyir dan Turmus Ayya kini bergantian menyerang warga,” ujarnya.

Dalam serangan terbaru, para pemukim menembakkan peluru tajam, melempar gas air mata, dan membakar tujuh mobil warga di area timur desa yang luasnya mencapai 2.000 dunam. “Namun warga tak gentar. Mereka melawan hingga para pemukim mundur,” kata Abu Samra.
Keesokan harinya, berkat rekaman video yang tersebar di media sosial, warga kembali ke ladang mereka dan melanjutkan panen dengan lebih banyak dukungan publik.

Solidaritas Zaitun

Di tengah kekerasan itu, lahirlah kampanye “Zaitun 25”, sebuah gerakan solidaritas untuk mendampingi warga Palestina selama musim panen zaitun. Ratusan relawan internasional ikut turun tangan, menjadi tameng hidup bagi keluarga-keluarga yang berusaha memanen buah dari pohon warisan mereka.

Salah satu koordinator kampanye, Munir Amira, menegaskan bahwa serangan ini bukan insiden acak. “Serangan itu terorganisir. Tujuannya mencegah rakyat Palestina mengakses lahan mereka, terutama yang berada di Area C sesuai perjanjian Oslo,” ujarnya.

“Zaitun bukan sekadar sumber ekonomi, tapi juga simbol perlawanan dan akar identitas kami. Mereka ingin menghancurkan dua-duanya.”

Menurut Amira, para pemukim kerap menyerang dengan wajah terbuka (tanpa rasa takut atau rasa bersalah) bahkan terhadap aktivis Israel yang mendukung hak rakyat Palestina. “Mereka tahu dilindungi tentara,” katanya getir.

Target Baru: Relawan Asing

Sekitar 200 relawan internasional tiba di Tepi Barat tahun ini untuk membantu warga memanen zaitun. Namun kehadiran mereka justru dijadikan dalih oleh militer Israel untuk membatasi aktivitas warga.
Tentara Israel bahkan memperingatkan petani bahwa izin panen hanya akan diberikan jika mereka tidak menerima para relawan asing, dengan alasan “para relawanlah penyebab masalah”.

Lebih jauh, Amira mengungkap praktik berbahaya: militer memaksa relawan asing meninggalkan ladang di Burin dan Huwara. Sesampainya di tempat tinggal, 32 di antaranya langsung ditangkap dan dideportasi dalam satu hari, upaya nyata untuk mengisolasi warga Palestina dari solidaritas dunia.

“Malam itu saya sadar,” kata Amira dengan suara berat, “musim zaitun, yang dulu menjadi waktu keluarga berkumpul, kini berubah menjadi musim ketakutan dan kecemasan. Pendudukan telah menghancurkan rasa aman, bahkan di antara ranting-ranting zaitun yang dulu simbol kedamaian.”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here