Ribuan warga mulai berjalan kembali menuju Gaza City. Bukan karena keadaan aman, melainkan karena mereka tak lagi punya pilihan lain selain pulang ke tanah mereka sendiri.
“Bagi kami, ini rumah. Kami milik tempat ini,” kata salah satu warga yang kembali. Seperti banyak lainnya, ia menolak tercerabut dari tanah kelahirannya.
Banyak dari mereka berjalan kaki dari kamp-kamp pengungsian di Gaza tengah, membawa satu harapan yang masih tersisa: menemukan anggota keluarga yang hilang. Sebagian tak tahu apakah orang-orang yang mereka cari masih hidup atau sudah menjadi nama tanpa jasad di bawah reruntuhan bangunan.
“Apakah mereka masih terjebak? Apakah mereka sudah syahid? Atau justru ditangkap Israel dan dibawa entah ke mana?” demikian pertanyaan yang terus bergema di kalangan warga yang kembali.
Beberapa keluarga berharap masih bisa berteduh di rumah mereka, meski sebagian dindingnya telah runtuh. Namun setibanya di Kota Gaza, mereka justru dihantam kenyataan pahit: bahkan sisa bangunan pun tak lagi ditemukan. Kota itu kini nyaris rata dengan tanah.
Kegembiraan kecil karena bisa kembali ke rumah berubah menjadi keheningan yang menyesakkan. Di pusat kota, mereka menyaksikan kehancuran total, jalan yang terbelah, puing yang menjulang, dan bau kematian yang belum hilang. Banyak warga mengatakan tingkat kerusakan kali ini lebih parah dibanding sebelumnya, terutama akibat penggunaan robot peledak dalam serangan Israel.