Rama Blawi, perempuan Palestina berusia 32 tahun dari kota Kafr al-Labad di utara Tepi Barat, ditangkap dalam usia kehamilan tiga bulan. Keluarganya hidup dalam kecemasan ganda karena Rama mengidap thalassemia, penyakit yang membuat kehamilannya tergolong “berisiko tinggi”.
Suaminya, Husam, menceritakan bahwa komunikasi dengan Rama sangat terbatas: “Kami hanya bisa memantau kondisinya melalui pengacara dan persidangan, karena kunjungan dilarang. Selama lebih dari dua setengah bulan, tidak ada kabar sama sekali, membuat kekhawatiran kami terhadapnya dan janinnya berlipat ganda.”
Rama melahirkan anaknya, Abed, hanya dua hari setelah dibebaskan dari penjara Damun pada 18 Agustus lalu. Bayi itu lahir prematur karena kondisi kesehatan ibunya yang kritis saat keluar dari tahanan.
Selama masa kehamilan, perempuan hamil di penjara menghadapi realitas kejam: menerima persalinan sambil dibelenggu, menahan rasa sakit kontraksi, dan mempertanyakan mana yang lebih menyiksa, sakit melahirkan atau penderitaan akibat belenggu.
Kisah Rama hanyalah satu dari banyak penderitaan para perempuan hamil Palestina di penjara Israel. Banyak yang dilarang mendapat pemeriksaan medis, dipaksa menjalani interogasi panjang tanpa memperhatikan kondisi kehamilan, bahkan menghadapi ancaman kehilangan janin untuk menekan pengakuan.
Kondisi diperparah setelah 7 Oktober 2023, ketika penjara memperketat prosedur: makanan dikurangi seminimal mungkin, air bersih dibatasi, mandi dan pakaian dibatasi, serta tindakan kekerasan dan penyiksaan meningkat.
Pengacara dan organisasi HAM harus bekerja keras untuk menekan pihak penjara agar memberikan perawatan medis, sering kali di bawah belenggu tangan dan kaki, tanpa mempertimbangkan status hamil.
Pengalaman traumatis ini meninggalkan dampak fisik dan psikologis yang mendalam, bahkan setelah pembebasan. Banyak perempuan masih berada di bawah tahanan rumah atau menghadapi kesulitan dalam menjalani pemulihan.
Amani Sarahna, juru bicara Klub Tahanan Palestina, menegaskan bahwa kondisi para perempuan hamil di penjara Israel “sangat kejam,” dengan kekurangan gizi, isolasi sosial, dan perlakuan yang menghancurkan mental dan fisik.
Upaya advokasi terus dilakukan, namun respons internasional masih minim, sementara para perempuan hamil tetap menanggung penderitaan berlapis yang membekas seumur hidup.