Tanggung jawab atas berlanjutnya pembunuhan jurnalis di Gaza tidak hanya berada di pundak pemerintah dunia. Para pakar menilai, komunitas pers internasional juga turut terseret dalam lingkaran ini, bukan karena bertindak, melainkan karena memilih diam. Diam yang lahir dari ketakutan akan kehilangan posisi dan kepentingan, hingga tanpa sadar mereka ikut membiarkan kejahatan ini berlangsung.

Hari Senin lalu, Israel kembali menargetkan jurnalis. Enam wartawan gugur, termasuk fotografer Al Jazeera, Muhammad Salama, dalam serangan udara ke kompleks medis Nasser di Khan Younis, Gaza selatan. Serangan itu terjadi kurang dari sebulan setelah pembunuhan Anas al-Sharif, koresponden Al Jazeera, bersama sejumlah jurnalis lain di sekitar kompleks medis Al-Shifa, Gaza utara.

Menurut Janine di Giovanni, Direktur Eksekutif War Crimes Unit Accountability Project, pembunuhan yang begitu terang-terangan hanya mengungkap dua hal: pemerintah dunia terlibat secara pasif dalam kejahatan ini, dan komunitas pers internasional gagal bersuara untuk 246 kolega mereka yang terbunuh dalam 22 bulan terakhir. Di Giovanni, yang berpengalaman meliput 18 perang selama 35 tahun, menyebut genosida di Gaza sebagai yang terburuk dari tiga tragedi besar yang pernah ia saksikan.

“Seharusnya para jurnalis bangkit membela rekan mereka, bukan memilih diam demi pekerjaan,” ujarnya, sembari menegaskan bahwa diamnya komunitas pers justru mengukuhkan pelanggaran konvensi internasional yang dilakukan tanpa sanksi.

Nada serupa datang dari Jodie Ginsberg, CEO Committee to Protect Journalists (CPJ). Ia menegaskan, setiap wartawan di Gaza kini telah menjadi target sah bagi Israel. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahkan meremehkannya, menyebut pembunuhan jurnalis sebagai “kesalahan kecil”, seolah nyawa wartawan tak lebih berharga dari sepasang kaus kaki yang terjatuh di lantai.

Bagi Ginsberg, sikap itu lahir dari keyakinan Israel bahwa mereka dapat terus lolos dari hukuman. Selama dunia tak memberi sanksi, Israel akan melanjutkan pola ini: membungkam saksi mata agar tak ada yang tersisa untuk menceritakan kejahatan mereka.

Dima Samaro, Direktur Eksekutif Skyline for Human Rights, menambahkan, perang di Gaza telah memperlihatkan standar ganda dunia. Alih-alih mengupayakan akuntabilitas, Gaza justru menjadi “tempat paling mematikan bagi jurnalis” karena Israel tetap memperoleh senjata dari negara-negara besar. Bahkan, kata Samaro, pelapor khusus PBB yang mengkritik kejahatan Israel justru dikenai sanksi, alih-alih Israel yang diseret ke pengadilan.

Platform digital global pun, seperti Facebook dan X, dianggap turut memperparah keadaan. Mereka gagal menindak ujaran kebencian dan seruan untuk membunuh wartawan Palestina sebagaimana biasanya mereka lakukan pada konflik lain.

Krisis Etika dan Ancaman Masa Depan

Para pakar menegaskan, membiarkan Israel tanpa hukuman sama artinya dengan membuka jalan bagi pelaku kekerasan di masa depan. “Jika wartawan terus dibunuh tanpa sanksi, siapa pun akan ragu meliput perang di wilayah berbahaya,” kata di Giovanni. “Itu berarti memberikan keleluasaan penuh bagi para pelaku kejahatan untuk berbuat sekehendak hati.”

Ia mengingatkan, jurnalis pada perang Korea dan Vietnam pernah merasa relatif terlindungi saat bekerja. Perlindungan itu kini lenyap. Jika Gaza dibiarkan, maka dalam setiap perang mendatang jurnalis akan menjadi target utama.

Ginsberg menegaskan: para jurnalis adalah warga sipil tanpa senjata. Mereka hanya menyampaikan informasi agar masyarakat bisa bertahan hidup dengan pengetahuan yang benar. “Namun dunia sudah membiarkan demonisasi terhadap wartawan berlangsung, hingga profesi ini kehilangan martabatnya.”

Meski begitu, di Giovanni menutup dengan secercah harapan. Menurutnya, pengadilan opini publik global masih memiliki kekuatan besar. Tekanan moral dunia, kata dia, sudah mulai mengubah posisi negara-negara seperti Jerman dan Inggris terhadap Israel. Itu menjadi pengingat bagi jurnalis di Gaza maupun di tempat lain: meski berisiko tinggi, suara mereka tetap mampu menggerakkan perubahan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here