Pembunuhan koresponden Al Jazeera, Anas Al-Sharif dan Muhammad Qreiqa, bukan sekadar bagian dari rangkaian kekerasan terhadap jurnalis. Menurut analis, ini adalah langkah strategis untuk mematikan kamera yang mendokumentasikan tragedi Gaza, menciptakan ruang bagi operasi militer tanpa saksi.

Serangan itu menghantam tenda media di depan RS Al-Shifa. Kepala Biro Al Jazeera Gaza, Wael Al-Dahdouh, mengungkap, 238 jurnalis telah syahid sejak perang dimulai, jumlah yang melampaui korban di banyak perang dunia. Ia menegaskan, angka ini bukan akibat serangan acak, melainkan kebijakan sistematis untuk membungkam suara yang membongkar kejahatan perang Israel.

Namun, respons internasional dinilai lemah. Di Eropa, Sekjen Federasi Jurnalis Eropa, Ricardo Gutiérrez, menyebut peristiwa ini sebagai “pembunuhan yang diputuskan di level politik dan militer tertinggi Israel”. Ia menolak klaim Israel yang mengaitkan para korban dengan Hamas, dan menyerukan langkah hukum serta politik untuk menghentikan impunitas.

Gutiérrez mencatat perubahan opini publik Eropa, bendera Palestina kian sering berkibar di unjuk rasa, tekanan pada pemerintah untuk menghentikan ekspor senjata dan membekukan perjanjian dagang dengan Tel Aviv makin kuat.

Pengamat Israel, Dr. Mohanad Mustafa, menilai upaya membungkam jurnalis adalah bagian dari krisis citra internasional yang dihadapi Israel. Media global mulai mengandalkan fakta lapangan, bukan narasi resmi Tel Aviv. Menghilangkan saksi lapangan memberi Israel “ruang bebas” untuk menjalankan kebijakan militer dan demografis tanpa liputan independen.

Meski demikian, Al-Dahdouh menegaskan semangat jurnalis Palestina tetap menyala (bahkan di bawah ancaman kematian) demi memastikan dunia terus melihat dan mendengar kebenaran dari Gaza.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here