Upaya Israel untuk kembali menguasai seluruh Gaza (atau setidaknya menduduki Kota Gaza) diprediksi tak akan lebih dari mengulang kegagalan operasi “Arabat Gideon”. Demikian penilaian Brigadir Jenderal Hassan Jouni, analis militer yang menyoroti kesamaan tujuan kedua operasi: menembus sabuk pertahanan internal pejuang Palestina.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Jouni mengingatkan bahwa “Arabat Gideon” yang digelar pada Mei lalu berakhir tanpa hasil signifikan, terutama terkait pembebasan tawanan. Kini, rencana menguasai Kota Gaza dinilai hanya akan menabrak dinding yang sama, perlawanan yang masih kokoh di kawasan timur Gaza seperti Shujaiya, Al-Daraj, Zeitoun, dan Al-Tuffah. “Di dalam kota, kekuatan pejuang justru lebih solid karena medan yang kompleks dan jejaring perlawanan yang sudah mengakar,” ujarnya.
Situasi di internal Israel sendiri tidak utuh. Meski terdapat indikasi kesepahaman antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Kepala Staf Eyal Zamir untuk menjalankan operasi secara bertahap mulai dari pendudukan Kota Gaza, perbedaan pandangan politik-militer masih tajam. Netanyahu dan Menteri Pertahanannya saat ini, Yisrael Katz, bukan figur militer. Menurut Jouni, hal itu membuat mereka kerap mengabaikan penilaian strategis para jenderal.
Bahkan, dalam rapat kabinet keamanan, Zamir disebut menentang keras rencana pendudukan penuh Gaza. Ia memperingatkan operasi semacam itu akan memakan waktu satu hingga dua tahun, mengancam nyawa para tawanan Israel, dan berisiko menambah korban di pihak tentaranya sendiri. Serangan terhadap infrastruktur Kota Gaza, menurutnya, juga akan memicu bencana kemanusiaan besar.
Laporan New York Times mengutip pejabat Israel yang mengklaim militer dapat menguasai sisa wilayah Gaza dalam hitungan bulan. Namun, mereka mengakui membangun sistem kendali seperti di Tepi Barat akan memerlukan lima tahun pertempuran berkelanjutan, harga yang akan memakan sumber daya dan moral pasukan Israel.
Sejarah “Arabat Gideon” menjadi cermin. Israel mungkin bisa mengubah nama operasi, tapi medan Gaza (dengan perlawanan yang berlapis dan waktu yang berpihak pada para pejuang) tetap menjadi kuburan ambisi militer Tel Aviv.