Di tengah pengepungan diplomatik yang digalang Israel dengan sokongan penuh dari Amerika Serikat, sejumlah negara Eropa mencoba memecah kebekuan internasional lewat langkah simbolik: mengakui Negara Palestina. Upaya ini digambarkan sebagai usaha menghidupkan kembali solusi dua negara yang nyaris mati.
Namun, pengakuan tersebut (termasuk yang terbaru oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron) terbentur pada tembok realitas geopolitik yang dikendalikan Washington. Amerika memegang kendali atas keputusan-keputusan besar, dan tak satu pun pengakuan itu mampu mengubah fakta bahwa Palestina tetap tanpa tanah, tanpa kedaulatan, tanpa keadilan.
Macron menjanjikan pernyataan resmi di Sidang Umum PBB September mendatang. Tapi janji itu segera disambut sinis oleh Donald Trump, yang menyebut langkah Prancis “tak berbobot.” Bagi AS, tak ada pengakuan tanpa syarat: Palestina harus mengakui Israel dan menghentikan (dalam istilah Washington) “hasutan untuk menghancurkan negara Yahudi.”
Sikap ini bukan semata kebijakan, tapi cerminan aliansi ideologis antara AS dan Israel. Tak ada ruang bagi langkah unilateral demi Palestina. Bahkan Adolfo Franco, analis Partai Republik, mengakui bahwa pengakuan Eropa tetap mentok pada dalih lama: Palestina tidak bersatu, tidak ada otoritas tunggal, dan tak ada batas wilayah yang jelas.
Pengakuan: Kewajiban Moral, Bukan Sekadar Simpati
Sebaliknya, Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Inggris, Emily Thornberry, menyebut pengakuan atas Palestina bukan lagi pilihan politis, tapi kewajiban moral di tengah genosida di Gaza dan kebuntuan politik global. Menurutnya, pengakuan harus segera diberikan tanpa syarat, dan Inggris punya alat tekanan riil—mulai dari sanksi terhadap pemukiman ilegal hingga tekanan diplomatik terhadap AS.
Namun, suara-suara keberanian seperti ini tetap minoritas. Eropa tidak memiliki posisi bersama ataupun strategi eksekusi. Maka pengakuan itu tetap tampak seperti selebaran diplomasi, bukan alat perubahan.
Peringatan keras datang dari anggota parlemen Palestina, Dr. Hasan Khreisha. Ia menyebut bahwa tanpa langkah konkret seperti penghentian kerja sama militer atau pembekuan perjanjian ekonomi dengan Israel, maka pengakuan itu hanya menjadi “suap diplomatik” untuk merayu negara Arab agar melunak pada isu normalisasi.
Khreisha bahkan curiga, langkah-langkah Eropa ini sebetulnya tidak bertentangan dengan agenda AS. Ia mengingatkan bahwa Prancis pernah memasok reaktor nuklir bagi Israel. Kini, Paris hanya sedang mencoba merebut kembali posisi lamanya di kawasan, bukan benar-benar berpihak pada Palestina.
Intinya, masalah utama bukan sekadar belum ada pengakuan, tapi karena penjajahan masih berlangsung, pemukiman ilegal makin meluas, faksi-faksi Palestina belum bersatu, dan dunia Arab, terutama elite politiknya—terjebak dalam diam yang memperpanjang dominasi Israel.
Israel: Kompak Menolak, Baik Kanan Maupun Kiri
Di dalam Israel sendiri, ada konsensus lintas partai: penolakan total terhadap pengakuan Eropa. Dr. Muhannad Mustafa, pakar politik Israel, mencatat bahwa sejak 2015, tak satu pun partai politik Zionis yang mencantumkan solusi dua negara dalam platformnya. Artinya, penolakan terhadap Palestina bukan sekadar kebijakan sementara, tapi perubahan mendasar dalam kesadaran politik Israel.
Bagi Israel, pengakuan internasional terhadap Palestina adalah “terorisme diplomatik.” Mereka tahu, hanya dengan menyebut “Negara Palestina,” dunia bisa membuka kembali dossier Palestina yang selama ini mereka berusaha kubur.
Penolakan ini tidak berakar pada serangan 7 Oktober atau eskalasi Gaza, tapi merupakan posisi ideologis jangka panjang. Bahkan Franco tetap mengulang narasi usang: Hamas adalah penghalang utama, dan Otoritas Palestina tidak mewakili semua rakyat Palestina.
Tapi Khreisha menegaskan bahwa PLO tetap merupakan representasi sah rakyat Palestina, dan bahkan Hamas tidak menolak hal itu. Maka, dalih “tidak ada perwakilan tunggal” hanyalah alibi yang terus diputar ulang demi mempertahankan status quo.
Arah Politik: Antara Simbol dan Tekanan Nyata
Bagi yang masih berharap perubahan bisa datang dari dalam Israel, Dr. Mustafa menyampaikan fakta pahit: tak ada oposisi signifikan, dominasi ultra-kanan semakin menancap, dan dunia Arab tak memberi tekanan nyata. Artinya, penolakan terhadap solusi dua negara akan bertahan tanpa batas.
Pada akhirnya, pengakuan dari negara-negara Eropa, seberani apa pun, tetap seperti cek kosong, baik niat maupun simbol ada, tapi tak bernilai dalam realitas. Sementara Eropa bermain di ranah moralitas, AS dan Israel terus menggenggam kendali, dan menulis ulang aturan permainan: Tidak akan ada negara Palestina, kecuali Israel setuju. Dan Israel tidak akan setuju, selama veto Amerika tetap aktif.