Kapal “Hanzala” akhirnya memasuki perairan internasional setelah memulai pelayaran pada Minggu (20/7) dari pesisir Kota Gallipoli, Italia. Bukan pelabuhan yang dituju kapal ini, melainkan ujian nurani bagi dunia. Mengusung pesan dan kisah dari anak-anak Gaza yang setiap hari kehilangan nyawa di bawah serangan Israel, kapal ini juga membawa bantuan kemanusiaan yang diharapkan bisa menembus blokade dan menjangkau warga yang terkepung.

“Hanzala” bukan sekadar kapal pemberani. Ia adalah simbol yang berbicara lantang: “Jika kalian melarang bantuan masuk lewat darat, apakah kalian juga akan menghalangi pesan untuk anak-anak? Jika perbatasan kalian tutup, apakah laut juga kalian tutup?” Sebuah perlawanan yang halus namun bermakna, menjadikan laut sebagai jalur solidaritas.

Upaya Sabotase Gagal

Kapal “Hanzala” awalnya dijadwalkan berlayar pukul 10 pagi waktu setempat, namun tertunda sekitar dua jam karena adanya dugaan sabotase teknis. Sumber Al Jazeera menyebutkan bahwa kru kapal harus memeriksa ulang baling-baling kapal setelah mencurigai adanya tali yang dililitkan untuk menghambat pergerakan. Jika tidak segera diketahui, tali itu bisa saja membuat mesin mati total dan membatalkan seluruh misi kemanusiaan ini.

Tak hanya itu, ada juga upaya mencampurkan cairan asam ke dalam persediaan air di atas kapal, air yang seharusnya digunakan para aktivis untuk mandi selama pelayaran. Meskipun belum ada pihak yang secara resmi dituduh, insiden ini memperlihatkan bahwa bahkan kapal kecil yang hanya membawa hadiah dan pesan damai pun menjadi target ketakutan akan simbol-simbol perlawanan.

Setelah upaya sabotase digagalkan, diiringi lagu-lagu rakyat Palestina dan nyanyian revolusioner Italia seperti “Bella Ciao”, serta kibaran bendera Palestina, “Hanzala” akhirnya mulai berlayar menuju perairan internasional. Ia ditemani tiga perahu kecil lainnya selama sekitar satu jam sebelum kapal-kapal pendamping kembali ke pelabuhan Gallipoli.

Kapal kecil itu seakan melintasi waktu, membawa nama seorang anak lelaki bertelanjang kaki—Hanzala—tokoh ikonik karya seniman Palestina, Naji al-Ali, yang kini menjadi simbol kemarahan diam rakyat tertindas.

Ikon Perlawanan Sunyi

“Ini bukan percobaan pertama dan bukan yang terakhir,” ujar para penyelenggara dari Komite Internasional untuk Membongkar Blokade Gaza. Mereka bahkan mengumumkan rencana pelayaran berikutnya dalam sebulan ke depan yang akan diisi oleh awak perempuan saja.

Para aktivis sepenuhnya sadar bahwa perjalanan ini penuh risiko. Laut internasional bukanlah jaminan aman, dan mereka bersiap menghadapi kemungkinan intersepsi oleh angkatan laut Israel. Penangkapan dan deportasi menjadi skenario yang nyata, namun semangat mereka tak goyah: dari perairan Italia menuju pesisir Gaza, kapal ini terus melaju.

Meski belum ada kepastian apakah “Hanzala” akan berhasil mencapai Gaza, kapal ini telah menjadi bagian dari cerita panjang perjuangan Palestina. Ia menyuarakan solidaritas global yang tak pernah padam. Laut kini menjadi panggung protes sunyi namun kuat, menegaskan bahwa Gaza masih ada, dan warganya berhak hidup dengan martabat dan kebebasan.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here