Para pakar dan analis politik sepakat bahwa laporan Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese, terkait keterlibatan perusahaan-perusahaan global dalam “ekonomi genosida” di Palestina merupakan titik balik penting dalam membuka kedok dukungan institusional terhadap agresi Israel.
Dalam pidatonya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Albanese menyebut ada sejumlah negara yang mendukung proyek Israel untuk menguasai dan mengusir warga Palestina. Ia menuntut agar seluruh perjanjian dagang dengan Israel dihentikan karena turut mendukung “perang pemusnahan” di Gaza.
Albanese mengungkap, perusahaan senjata internasional telah memasok Israel dengan 35 ribu ton bahan peledak, setara enam kali kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang.
Laporan resmi yang didasarkan pada lebih dari 200 laporan negara, akademisi, dan organisasi HAM itu menyingkap lebih dari 60 perusahaan besar dunia terlibat dalam mendukung apa yang disebut Albanese sebagai “ekonomi genosida” terhadap rakyat Palestina.
Laporan terbuka dan jelas
Menurut Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Dr. Mustafa Barghouti, laporan ini sangat penting karena secara gamblang menyebut nama-nama perusahaan global yang terlibat dalam genosida di Gaza.
Daftar tersebut mencakup raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft yang menyediakan perangkat lunak untuk pengawasan, hingga perusahaan senjata seperti Lockheed yang menyuplai bom dan pesawat tempur, serta Caterpillar dan Hyundai yang menyuplai alat berat untuk meruntuhkan rumah-rumah warga Palestina.
Aktivis Abdu Muhammad dari kampanye “No Visit” juga menegaskan keterlibatan mendalam sektor teknologi, khususnya Microsoft, yang dianggap sebagai “tulang punggung teknologi” bagi rezim apartheid Israel dan genosida di Gaza.
Menurut laporan itu, kerja sama Microsoft dengan Israel sudah terjalin sejak 1990-an melalui pusat pengembangan teknologi, kontrak dengan militer, kepolisian, serta sektor listrik dan air. Microsoft menyediakan sistem komputasi awan dan kecerdasan buatan yang kini menjadi bagian dari arsenal militer Israel.
Laporan Associated Press pada Februari 2025 menyebut Microsoft dan perusahaan AS lainnya juga menyediakan layanan digital untuk membantu Israel melacak “target-target” di Gaza. Sejak serangan Al-Aqsa Flood oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, penggunaan teknologi AI oleh Israel melonjak hingga 200 kali lipat. Hal ini mempermudah mereka dalam menentukan sasaran dengan cepat.
Tak hanya itu, sektor perbankan dan asuransi juga disebut terlibat. Bank seperti Barclays (Inggris) dan BNP (Perancis) terindikasi mendanai operasi militer Israel, sedangkan perusahaan asuransi Allianz mendukung infrastruktur ekonomi pendudukan.
Senjata jadi komoditas
Menurut analis militer Dr. Ahmad Al-Sharifi, reaksi marah AS menunjukkan adanya kegelisahan mendalam terhadap kritik yang menyoroti sistem kapitalisme yang telah “memprivatisasi” sumber senjata dan melepasnya dari kendali moral dan hukum.
Ia menekankan, perusahaan multinasional hanya berfokus pada keuntungan, tanpa memedulikan nilai etika atau hukum, sehingga mereka bebas dari akuntabilitas moral.
Akademisi urusan Israel, Dr. Mohannad Mustafa, menambahkan bahwa tuduhan “antisemit” kini kehilangan maknanya karena Israel terlalu sering menggunakannya untuk membungkam kritik. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya gerakan protes global yang menolak kebijakan Israel tanpa bersifat anti-Yahudi.
Potensi dampak
Para pakar sepakat bahwa laporan Albanese berpotensi memicu gelombang protes global dan boikot perusahaan-perusahaan yang terlibat, mirip dengan boikot terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan dulu.
Dr. Barghouti menilai laporan ini sebagai “tamparan untuk nurani dunia” yang membuka mata banyak pihak akan runtuhnya standar moral internasional.
Sementara itu, Israel menolak laporan ini dan menyebutnya sebagai “fitnah yang menyesatkan”, serta menuduh Albanese melampaui mandatnya.
Delegasi AS di PBB bahkan mendesak Sekjen PBB António Guterres agar mengecam langsung Albanese dan mencopotnya dari jabatan Pelapor Khusus.
Pada Mei lalu, Albanese juga sempat menyerukan agar pejabat tinggi Uni Eropa, termasuk Ursula von der Leyen, dituntut atas dugaan terlibat kejahatan perang karena mendukung Israel dalam agresi ke Gaza.