Di tengah runtuhnya sistem kesehatan di Jalur Gaza dan berlanjutnya blokade ketat Israel, Dr. Munir Al-Bursh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan, meluncurkan seruan yang menggambarkan situasi kesehatan di Gaza sebagai “panggung terbuka untuk kematian”. Ia menyebut lembaga-lembaga internasional turut bertanggung jawab karena bersekongkol dan diam melihat “pembantaian yang disiarkan langsung”.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Al-Bursh menegaskan bahwa penderitaan di Gaza sudah melewati semua batas, dan penduduk kini menghadapi “segala macam kematian”, mulai dari pembantaian setiap hari oleh tentara Israel, hingga wabah penyakit mematikan akibat lumpuhnya layanan kesehatan.

Dia menyinggung tragedi yang terjadi Senin lalu di Pelabuhan Gaza, yang menyebabkan puluhan warga sipil syahid. Al-Barsh menyebut pemandangan mayat berserakan di air sebagai sesuatu yang mengerikan, menambahkan bahwa jumlah syuhada naik menjadi 44, selain puluhan korban luka dan hilang.

Al-Barsh juga mengungkap bahwa Israel semakin memperketat kontrol terhadap pasokan bahan bakar ke Kementerian Kesehatan. Jika sebelumnya pasokan dikirim mingguan, kini hanya diberikan sehari-hari. Hal ini melumpuhkan layanan vital seperti cuci darah, memaksa dokter untuk memilih siapa yang akan meninggal lebih dulu.

Sebelumnya, Direktur Kompleks Medis Al-Shifa mengumumkan penghentian layanan cuci darah, mengancam nyawa 350 pasien, di tengah matinya generator, yang berdampak fatal pada ruang ICU, alat bantu pernapasan, dan inkubator bayi prematur.

Al-Barsh menekankan bahwa kekurangan bahan bakar bisa mematikan ruang operasi, ruang ICU, serta mengancam setiap pasien yang membutuhkan ventilator, pendingin obat atau vaksin. “Satu menit keterlambatan bisa menghabisi nyawa,” ujarnya, terlebih di tengah terus bertambahnya korban luka dan pasien setiap hari.

Wabah Meningitis

Al-Barsh memperingatkan mewabahnya penyakit meningitis pada anak-anak secara mengkhawatirkan, dengan lebih dari 300 kasus tercatat di Rumah Sakit Anak Al-Nasr. Ia memprediksi jumlah akan terus meningkat akibat krisis sanitasi parah, kurangnya air bersih, kekurangan gizi, serta padatnya kamp pengungsian yang hanya menempati 12% wilayah Gaza.

Sebelumnya, Dr. Ragheb Wersh Agha, Kepala Departemen Anak di Rumah Sakit Al-Nasr, juga menyebut ratusan kasus meningitis baru muncul setiap bulan, akibat runtuhnya layanan kesehatan dan gizi.

Al-Barsh menegaskan bahwa lonjakan jumlah korban luka setiap hari sudah melebihi kapasitas rumah sakit, sehingga banyak pasien tidak mendapat perawatan memadai karena kurangnya peralatan medis.

Sumber medis juga melaporkan bahwa sejak pagi, jumlah syuhada bertambah menjadi 31, termasuk 13 orang yang gugur saat menunggu bantuan makanan, memperlihatkan kondisi kemanusiaan yang makin mengerikan.

Lembaga Internasional

Al-Barsh mengatakan Kementerian Kesehatan terpaksa terus-menerus meminta bantuan lembaga internasional, namun ia menilai mereka justru “ikut serta dalam kejahatan dan menjadi saksi palsu”, karena gagal melindungi anak-anak, di mana jumlah syuhada anak sudah melampaui 17 ribu sejak awal agresi.

Ia mempertanyakan, “Di mana UNICEF? Di mana lembaga yang konon melindungi anak dan perempuan? Mereka gagal menjalankan tugas dasar menyelamatkan jiwa.”

Al-Barsh juga menegaskan bahwa Israel sengaja membunuh warga yang selamat dari serangan bom dengan memblokir bahan bakar, sementara lembaga internasional hanya menonton tanpa tindakan nyata, meski tahu bahwa setiap detik keterlambatan berarti lebih banyak nyawa melayang.

UNRWA sebelumnya menyebut mekanisme distribusi bantuan AS-Israel saat ini sebagai “ladang maut”, karena warga terus menjadi sasaran saat berusaha mendapatkan makanan.

Sekjen PBB António Guterres juga menyebut rencana bantuan AS di Gaza “tidak aman sejak awal”, bahkan memperparah pembunuhan warga sipil. Guterres mengkritik keras upaya AS dan Israel yang ingin “memiliterisasi bantuan” dan membentuk badan baru pengganti PBB.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here