Di jalanan Gaza yang porak-poranda, ribuan orang mempertaruhkan nyawa hanya demi segenggam tepung. Harga bahan pangan melonjak gila-gilaan, tepung raib dari pasar, dan daya beli rakyat hancur lebur. Di balik semua itu, ada wajah-wajah lelah yang berjuang menahan lapar, dan menahan napas di bawah peluru.
Ahmad Muhammad Yasin, ayah dua anak yang dulu bekerja sebagai tukang kayu, kini hanya bisa menatap kosong. Sudah berminggu-minggu ia tak menemukan tepung untuk roti, apalagi bahan pokok lain. “Banyak orang sudah tak sanggup beli makan hari ini, besok entah bagaimana,” ujarnya getir.
Maher Jamal al-Zaza, pengangguran, hanya bisa menyindir pahit, “Siapa yang masih bisa belanja di pasar sekarang? Kalau bukan pencuri, pasti pejabat.” Harga melonjak di luar nalar, membuat warga Gaza benar-benar lumpuh.
Di Shujaiya, Muhammad Ashour hidup sebagai pengungsi sejak rumahnya hancur dibombardir. Demi secuil tepung, ia harus keluar berkali-kali, setiap langkah berisiko jadi langkah terakhir.
Saat mereka bertiga mendekat ke truk bantuan tepung asal AS, tentara Israel tiba-tiba menembaki kerumunan. Maher kehilangan satu mata, berdarah berjam-jam di jalanan sebelum dievakuasi. Muhammad tertembak leher, Ahmad pun tertembak ketika baru saja memegang karung tepung, lalu harus lari meninggalkannya.
Mereka menyaksikan tubuh-tubuh tak bernyawa, darah menggenang di aspal, jeritan memenuhi udara. Namun keesokan harinya, dan hari-hari setelahnya, mereka kembali lagi. Karena di Gaza, tak ada pilihan selain bertaruh nyawa demi sesuap roti untuk anak-anak yang kelaparan.
Di Gaza, krisis bukan sekadar ketiadaan tepung, tapi juga soal harga kemanusiaan yang dibayar mahal, setiap kali seorang ayah atau ibu keluar rumah demi sekedar bertahan hidup.