Ketika seluruh jalur masuk ke Gaza ditutup total sejak awal Maret lalu, Um Jad Kanaan buru-buru membeli persediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya. Tapi seiring waktu dan kelangkaan yang makin menggila, ia terpaksa menukar barang yang dimilikinya dengan apa pun yang ia butuhkan. “Saya butuh tepung, jadi saya rela tukar 1 kg gula yang sangat langka,” katanya. Iklan barternya di grup WhatsApp akhirnya disambut warga lain—dan barter pun terjadi: 4 kg tepung ditukar 1 kg gula.

Fenomena barter seperti ini kini menjalar cepat di Gaza, bukan karena romantisme masa lalu, tapi karena tak ada pilihan lain. Harga barang melambung, uang tunai langka, dan bank tak bisa diakses. Di tengah kelumpuhan ekonomi, warga Gaza mulai bertahan hidup dengan cara yang paling primitif—barter.

Jarak dan Bahan Bakar Jadi Penghalang

Sayangnya, bahkan barter pun tak semudah kelihatannya. Minimnya transportasi karena krisis bahan bakar membuat banyak barter gagal. “Kadang sudah ada yang mau tukar, tapi jarak rumah yang jauh dan tak ada kendaraan membuat barter batal,” tutur Um Jad.

Kondisi ini membuat barter menjadi bukan sekadar solusi darurat, tapi juga perjuangan logistik. Um Jad mengaku pernah harus menarik uang dari bank dengan komisi mencapai 40% lewat pasar gelap hanya untuk beli tepung. Sejak itu, barter jadi pilihan lebih masuk akal.

Barang Terbatas, Kebutuhan Tak Terpenuhi

Di Deir al-Balah, Khitam Hussein juga terjun ke sistem barter. Ia menukar lentil dengan gula. Lentil bahkan kini sering digiling menjadi roti sebagai pengganti tepung. Namun tidak semua kebutuhan bisa ditukar. “Saya cari kaldu blok untuk masak, sudah banyak tawaran barter tapi tak satu pun berhasil,” katanya.

Meski begitu, banyak warga merespons iklan barter dengan antusias. “Karena semua orang kekurangan, semua butuh, dan semua siap tukar,” ujar Khitam.

Harga-harga di Gaza kini tak masuk akal: 1 kg tepung bisa tembus 100 shekel, padahal sebelum perang, hanya 3 shekel. Di media sosial, warga saling tawarkan barang:

  • 1 kg kurma = 300 shekel tunai tanpa komisi
  • 1 kg kacang polong ditukar dengan 1 kg tepung
  • 1 kaleng nanas ditukar gula
  • 1 kg lentil cokelat ditukar minyak goreng
  • 1 kg kurma ditukar popok bayi

Barter: Solusi Kolektif, Tapi Bukan Solusi Jangka Panjang

Menurut ekonom Universitas An-Najah, Dr. Nasr Abdul Karim, barter adalah solusi darurat yang mencerminkan kreativitas warga. “Ini bentuk ketahanan komunitas menghadapi kelaparan akibat blokade Israel,” ujarnya. Namun ia menekankan, “Barter bukan solusi permanen. Satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri perang dan membuka akses bantuan kemanusiaan.”

Fenomena barter, kata Abdul Karim, mencerminkan krisis yang sangat dalam—tidak hanya ekonomi, tapi juga kemanusiaan. “Rakyat Gaza dipaksa kembali ke era sebelum uang. Ini bukan nostalgia, ini tragedi.”

Ia mengingatkan bahwa dulu, barter adalah bagian dari kehidupan masyarakat Palestina, termasuk saat Intifada pertama. “Yang punya anggur tukar dengan labu, yang punya gandum tukar dengan minyak zaitun. Itu dulu, sekarang kita kembali lagi ke kondisi itu karena dipaksa keadaan,” jelasnya.

Tapi jika kelaparan terus berlangsung dan stok habis, Abdul Karim khawatir barter pun akan kehilangan makna. “Kalau semua sudah tak punya apa-apa, lalu mau tukar apa lagi?”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here