Spirit of Aqsa- Serangan mematikan terhadap kendaraan militer Israel jenis Hummer di Jabaliya, Gaza utara, kembali menegaskan taktik perlawanan yang kian menyulitkan pasukan pendudukan. Serangan ini menewaskan tiga tentara Israel dan melukai 11 lainnya, sebagaimana dilaporkan media Zionis.

Brigadir Jenderal Elias Hanna, analis militer, menjelaskan kepada Al Jazeera bahwa strategi perlawanan Palestina—khususnya Brigade Al-Qassam—berfokus pada pertempuran di zona-zona yang jauh dari kedalaman Gaza. Sasaran seperti kendaraan Hummer menjadi titik lemah yang sengaja diincar karena mudah dihancurkan dan dampaknya besar secara psikologis dan militer.

“Al-Qassam memanfaatkan fakta bahwa Hummer bukan kendaraan lapis baja penuh. Biasanya dipakai di wilayah yang dianggap aman oleh pasukan Israel,” jelas Hanna. Namun kali ini, wilayah itu tak aman sama sekali. Serangan terjadi di area padat penduduk, dan inilah yang menyebabkan Israel kesulitan mengevakuasi pasukannya, bahkan dengan helikopter.

Dalam pernyataannya, Al-Qassam menyebut para pejuangnya melakukan pertempuran sengit dari jarak sangat dekat (zero distance) di sisi timur Kamp Jabaliya, yang mengakibatkan banyak korban dari pihak Israel.

Hanna menyebutkan, Israel gagal mengevakuasi korban karena dua faktor utama: intensitas tembakan perlawanan dan medan yang tidak memungkinkan helikopter untuk mendarat. Bahkan, salah satu helikopter yang dikirim untuk mengevakuasi pasukan dilaporkan terkena tembakan langsung.

Ia juga menambahkan bahwa dalam skenario perang seperti ini, keseimbangan kekuatan bisa berubah secara signifikan. Ketika kontak senjata terjadi dalam jarak sangat dekat, Israel tak bisa sembarangan menggunakan jet tempur karena risiko “friendly fire”—kematian pasukan sendiri akibat ledakan bom besar.

Media Israel menyebut serangan terhadap Hummer sebagai bagian dari “penyergapan kompleks dan sulit” yang menyasar pasukan dari Brigade ke-9. Mereka juga mengakui bahwa evakuasi gagal total akibat derasnya hujan tembakan dari arah pejuang Palestina.

Strategi Perlawanan: Bertahan di Tepian, Bukan di Tengah

Menurut Hanna, tujuan militer Israel adalah menguasai 75% wilayah Jalur Gaza—sebuah upaya untuk memotong ruang gerak perlawanan dan memaksa penduduk sipil terkonsentrasi di sisa 25%. Namun, strategi ini menghadapi perlawanan sengit.

Perlawanan justru memusatkan kekuatannya di wilayah pinggiran seperti Beit Lahia, Beit Hanoun, Jabaliya, hingga Shujaiyah di timur Gaza dan Khan Younis di selatan. Tujuannya jelas: membeli waktu dan menguras sumber daya pasukan pendudukan.

Hanna mencatat bahwa wilayah Jabaliya saja telah menjadi saksi dari sekitar 50 operasi perlawanan, mulai dari serangan bersenjata hingga aksi istisyhad (syahid) dan penyerangan senyap menggunakan senjata tajam.

Ia menegaskan, masuk ke kedalaman Gaza bukan perkara mudah. Bila Israel benar-benar memaksa menguasai 75% wilayah Gaza, maka biayanya akan sangat mahal—baik dari sisi nyawa maupun logistik.

Di awal bulan ini, Kepala Staf Militer Israel menyatakan bahwa operasi militer akan diperluas ke wilayah utara dan selatan Gaza. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa perlawanan bukan hanya bertahan, tapi juga menyerang secara strategis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here