Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza, Dr. Munir Al-Barsh, mengungkapkan kepada Al Jazeera gambaran memilukan tentang bencana kemanusiaan yang dialami rakyat Gaza, terutama anak-anak yang menjadi korban paling tak berdaya.

Menurut data terbaru yang disampaikan Al-Barsh, lebih dari 16.000 anak syahid sejak agresi Israel dimulai pada 7 Oktober 2023. Ia menegaskan bahwa angka ini bukan sekadar statistik, melainkan kesaksian pahit tentang dunia yang memilih bungkam melihat anak-anak Gaza meregang nyawa.

Yang lebih mengerikan, kata Al-Barsh, sebanyak 346 bayi dilahirkan dan langsung syahid di tengah perang. Mereka bahkan belum sempat mencicipi kehidupan—yang mereka temui hanyalah puing, ledakan, dan kematian. Bayi-bayi ini menjadi simbol paling tragis dari generasi yang sedang dihapus dari sejarah.

Kehancuran Infrastruktur Kesehatan

Al-Barsh menambahkan, pasukan pendudukan Israel secara sistematis menghancurkan fasilitas kesehatan di Gaza, menjadikan akses terhadap pengobatan yang seharusnya menjadi hak dasar, kini menjadi kemewahan yang tak terjangkau.

Dari total 38 rumah sakit di Gaza, 22 telah hancur total dan keluar dari layanan. Hanya 16 rumah sakit yang masih beroperasi sebagian, termasuk RS Al-Baptis dan RS Asy-Syifa di Gaza Utara, namun keduanya bekerja dengan kapasitas sangat terbatas.

Artinya, lebih dari satu juta penduduk Gaza saat ini praktis tidak memiliki akses ke layanan kesehatan, membuat penyakit ringan sekalipun dapat menjadi ancaman mematikan.

Strategi Pembantaian yang Sistematis

Menurut Al-Barsh, RS Indonesia—yang sebelumnya melayani lebih dari 10.000 pasien tiap bulan—terpaksa berhenti total setelah generatornya dibakar dan seluruh area rumah sakit dikepung tentara Israel.

Hal serupa terjadi pada RS Kamal Adwan dan RS Al-Awdah, yang juga menjadi sasaran langsung serangan. Ini bukan serangan acak, tegas Al-Barsh, tapi bagian dari strategi terencana untuk melenyapkan hak hidup warga Gaza.

Hidup di Tengah Tenda dan Luka

Akibat gelombang pengungsian besar-besaran, jalan-jalan di Gaza dipenuhi tenda pengungsi. “Anda bahkan tidak bisa berjalan tanpa menabrak tenda,” ujarnya.

Kepadatan luar biasa ini memicu lonjakan kasus infeksi dan luka, memperparah kondisi mereka yang nyaris tidak memiliki akses medis.

Petugas Medis Jadi Sasaran

Al-Barsh juga menyoroti dimensi lain dari kekejaman ini—penargetan langsung terhadap tenaga medis. Dalam satu pekan saja di bulan Mei, sebanyak 12 tenaga kesehatan syahid, sebagian besar adalah perawat ahli di ruang perawatan intensif.

Lebih ironis lagi, hingga kini tak satu pun bantuan medis yang dijanjikan berhasil masuk ke gudang Kementerian Kesehatan. Meskipun berbagai lembaga internasional menyatakan kesiapan membantu, realitas di lapangan tak berubah: Gaza tetap terblokade dan terkepung.

Upaya Sistematis untuk Mengusir Warga

Di akhir wawancara, Al-Barsh menyampaikan bahwa operasi militer Israel saat ini bukan sekadar serangan, tapi pengusiran massal. Tujuannya jelas: memaksa seluruh penduduk keluar dari wilayah utara ke selatan.

“Ini adalah masa tergelap sepanjang perang berlangsung,” tegas Al-Barsh. Rumah sakit penuh sesak, sumber daya menipis, dan dunia masih memilih bungkam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here