Sikap terbaru Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) yang disampaikan pemimpin mereka di Gaza, Khalil Al-Hayya, telah mengguncang strategi lama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Para analis sepakat, pernyataan Hamas pada Kamis kemarin bukan hanya membuka harapan bagi penghentian perang, tapi juga menutup rapat celah manuver politik Netanyahu yang selama ini bergantung pada kesepakatan setengah hati.

Menurut peneliti politik dan strategi, Said Ziyad, pernyataan Hamas memberi sinyal tegas: permainan Netanyahu untuk terus mengulur waktu lewat jeda-jeda kemanusiaan sambil menggencarkan pembantaian, pengusiran, dan kelaparan, kini tidak bisa lagi dijalankan. Hamas telah menyatakan tak akan lagi menerima kesepakatan parsial, dan siap masuk ke dalam negosiasi komprehensif yang benar-benar mengakhiri perang.

Sikap ini, kata Ziyad, justru sejalan dengan suara yang datang dari Amerika Serikat. Adam Boehler, utusan urusan sandera dari era Presiden Trump, bahkan menyuarakan hal senada.

“Pernyataan Hamas membuka peluang untuk solusi menyeluruh,” katanya.

Dari sisi Barat, suara serupa datang dari Peter Rough, jurnalis dan analis politik Newsweek. Ia menyebut sikap Hamas sebagai “langkah maju” dan menyatakan bahwa Gedung Putih kemungkinan akan merespons secara positif.

Pada Kamis lalu, Khalil Al-Hayya secara terbuka menegaskan kesiapan Hamas untuk negosiasi menyeluruh: pembebasan semua tawanan Israel ditukar dengan tawanan Palestina, penghentian perang terhadap rakyat Palestina, dan penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza.

Terkait senjata perlawanan, Al-Hayya menegaskan bahwa senjata tidak akan diletakkan selama penjajahan masih bercokol. Hamas juga menolak usulan terbaru yang dibawa mediator Mesir, yang memasukkan klausul perlucutan senjata sebagai syarat penghentian perang.

“Justru para mediator kini kembali membuka komunikasi dengan kami, karena mereka tahu siapa sebenarnya yang membatalkan kesepakatan awal: Netanyahu sendiri,” ujar Al-Hayya dalam pidato yang disiarkan Al Jazeera.

Dua Dampak Sekaligus

Analis isu Israel, Muhannad Mustafa, menilai sikap baru Hamas ini dapat memicu dua hal sekaligus. Pertama, Netanyahu bisa saja semakin menggila dengan melipatgandakan serangan ke Gaza demi memaksa Hamas mundur.

Kedua, tekanan publik dalam negeri terhadap Netanyahu akan membesar, mendorongnya untuk menyetujui kesepakatan menyeluruh—sesuatu yang kini mulai diteriakkan oleh banyak keluarga tawanan Israel.

“Netanyahu makin tersudut,” kata Mustafa.

“Sudah 18 bulan perang, sandera belum juga kembali, sementara tentaranya kelelahan dan mulai kehilangan arah.”

Menuju Akhir Kepemimpinan Netanyahu?

Mustafa menegaskan, Netanyahu tidak mencari jalan damai. Ia terus memelihara perang demi menutupi kegagalan fatal pada 7 Oktober lalu.

“Tapi jika akhirnya ia harus menyetujui negosiasi total seperti yang ditawarkan Hamas, itu berarti akhir bagi pemerintahannya.”

Sementara itu, profesor ilmu politik dari Universitas Ibrani, Meir Masri, mencoba menepis tawaran Hamas.

“Tidak ada yang bisa percaya pada pernyataan Al-Hayya,” ujarnya, seraya menuduh Hamas sebagai pihak yang memulai perang.Masri mengklaim tujuan perang Israel adalah “mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza dan melucuti senjatanya.”

Namun Ziyad membantah. “Israel tidak pernah menjadikan pelucutan senjata sebagai tujuan awal. Itu baru dimunculkan ketika mereka gagal menyingkirkan Hamas lewat kekuatan militer,” jelasnya.

Bagi Mustafa, faktor penentu kini ada di tangan Amerika Serikat. Jika Washington mau turun tangan dan memaksa Netanyahu berhenti, maka peluang gencatan senjata menyeluruh terbuka lebar.

“Netanyahu tidak akan berani menolak tekanan AS, apalagi dari pemerintahan sekarang,” katanya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here