Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Palestina, Francesca Albanese, mengutuk keputusan Israel memutus pasokan listrik ke Gaza, yang menurutnya berakibat pada tidak tersedianya air bersih dan merupakan “peringatan genosida.”
Dalam pernyataan yang dipublikasikan di akun X miliknya, Albanese menegaskan bahwa kegagalan untuk memberikan sanksi atau embargo senjata terhadap Israel berarti mendukung kejahatan genosida yang dapat dicegah dalam sejarah manusia.
“Peringatan genosida! Pemutusan pasokan listrik oleh Israel ke Gaza berarti tidak beroperasinya stasiun desalinasi, sehingga tidak ada air bersih,” tulisnya.
Pada Minggu lalu, Israel mengumumkan keputusan untuk segera menghentikan pasokan listrik ke Gaza, meskipun pasokan tersebut sebenarnya telah terhenti sejak awal perang pada Oktober 2023.
Saluran penyiaran resmi Israel melaporkan bahwa Menteri Energi dan Infrastruktur, Eli Cohen, telah memerintahkan penghentian total pasokan listrik ke Gaza.
Menanggapi keputusan ini, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa pemutusan listrik ini merupakan bagian dari upaya Israel untuk melanjutkan perang genosida terhadap Gaza melalui kebijakan kelaparan, yang jelas-jelas melanggar hukum dan norma internasional.
Sementara itu, juru bicara Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, Omri Dostri, menyatakan pekan lalu bahwa Tel Aviv tidak menutup kemungkinan untuk memutus pasokan listrik dan air ke Gaza sebagai upaya menekan Hamas.
Pada 2 Maret lalu, media Israel melaporkan bahwa pemerintah Israel berencana meningkatkan eskalasi di Gaza dalam waktu seminggu, termasuk pemutusan listrik dan air, pembunuhan target tertentu, serta pengusiran warga Palestina dari utara ke selatan Gaza, sebelum kembali melanjutkan perang.
Israel juga menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak Minggu lalu, memicu peringatan dari organisasi HAM bahwa warga Palestina berisiko kembali mengalami kelaparan.
Periode pertama gencatan senjata resmi berakhir pada awal Maret setelah berlangsung selama 42 hari, tanpa adanya persetujuan Israel untuk memasuki fase kedua yang mencakup penghentian total perang.
Netanyahu berusaha memperpanjang fase pertama kesepakatan pertukaran tahanan demi membebaskan lebih banyak sandera Israel di Gaza, tanpa memenuhi kewajiban dalam kesepakatan, terutama terkait penghentian perang. Langkah ini diambil demi menyenangkan kelompok ekstremis di pemerintahannya.
Namun, Hamas menolak rencana tersebut dan menegaskan bahwa Israel harus mematuhi perjanjian gencatan senjata. Hamas juga mendesak para mediator untuk segera memulai negosiasi tahap kedua yang mencakup penarikan pasukan Israel dari Gaza dan penghentian perang sepenuhnya.
Dengan dukungan Amerika Serikat, Israel telah melakukan genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025, yang menyebabkan lebih dari 160 ribu warga Palestina tewas atau terluka, sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Selain itu, lebih dari 14 ribu orang dilaporkan hilang.
Pada 19 Januari lalu, gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku dalam tiga tahap, masing-masing berlangsung selama 42 hari. Setiap tahap harus dinegosiasikan sebelum tahap sebelumnya selesai, dengan mediasi dari Mesir dan Qatar serta dukungan AS.
Israel telah mengubah Gaza menjadi “penjara terbesar di dunia” sejak memberlakukan blokade pada pertengahan 2006. Perang genosida yang dilakukan Israel telah memaksa sekitar dua juta dari total 2,4 juta penduduk Gaza mengungsi dalam kondisi yang tragis, dengan kelangkaan makanan, air, dan obat-obatan yang disengaja.
Sumber: Anadolu Agency