Menjelang bulan suci Ramadan, otoritas Israel meningkatkan tekanan terhadap warga Yerusalem, terutama jamaah yang menuju Masjid Al-Aqsa dan Kota Tua. Selain memperbanyak keberadaan polisi dan intelijen, pos-pos polisi yang didirikan di Kota Tua turut berperan dalam mengawasi dan menekan warga Palestina.

Polisi Israel mengendalikan operasi pemantauan dan penindasan dari lima pusat di dalam tembok bersejarah al-Quds. Peneliti sejarah kota itu, Ihab Al-Jallad, menjelaskan kepada Al Jazeera mengenai sejarah pusat-pusat tersebut:

1. Khalwah Al-Junblatiyah: Dibangun pada abad ke-17 di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa oleh arsitek Abdul Muhsin Namir. Pada masa pemerintahan Yordania, tempat ini digunakan sebagai kantor polisi sebelum diambil alih oleh Israel setelah pendudukan Yerusalem Timur tahun 1967.

2. Qishla: Dibangun pada 1833 oleh Ibrahim Pasha dari Mesir, tempat ini awalnya digunakan untuk melatih tentara. Di era Ottoman, Inggris, dan Yordania, fungsinya tetap sama sebelum akhirnya diubah oleh Israel menjadi pusat polisi dan intelijen. Para tahanan dari Kota Tua dan Al-Aqsa sering dibawa ke sini sebelum dipindahkan ke pusat interogasi Al-Maskubiya di Yerusalem Barat.

3. Madrasah Tankaziyah: Sekolah yang didirikan pada 1327 oleh Emir Tankaz Al-Nasiri ini awalnya merupakan institusi pendidikan. Bangunan ini sempat digunakan sebagai pengadilan di era Ottoman, lalu menjadi kediaman Mufti Yerusalem, Haj Amin Al-Husseini, sebelum akhirnya diambil alih oleh Israel pada 1969 dan dijadikan markas pasukan hingga kini.

4. Beit Eliyahu: Awalnya dikenal sebagai Madrasah Jalqiya yang dibangun pada 1311 oleh seorang komandan Mamluk, Beibars Al-Jalq. Sebagian bangunan ini disita oleh Israel setelah terowongan menuju Tembok Al-Buraq (Tembok Ratapan) digali pada 1970-an.

5. Beit Hanan: Pada Oktober 2024, Israel mengumumkan pembangunan pusat polisi baru di Jalan Al-Wad, dekat Bab Al-Hadid, salah satu gerbang Masjid Al-Aqsa. Bangunan ini berdampingan dengan Beit Hanan, sebuah gudang yang diambil alih Israel pada 1991 setelah ditemukannya jasad seorang pemukim Yahudi yang dibunuh di sana.

Penindasan dengan Teknologi Pengawasan

Selain pusat-pusat polisi tersebut, ratusan kamera pemantau dipasang di berbagai sudut Kota Tua, memperketat pengawasan terhadap puluhan ribu jamaah yang datang ke Al-Aqsa selama Ramadan.

Pada akhir 2024, polisi Israel bahkan mengadakan kompetisi untuk memilih unit terbaik dalam pemantauan menggunakan teknologi kamera 360 derajat. Pemenangnya adalah unit “Har HaBayit” (Bukit Bait Suci), yang bertugas mengawasi Masjid Al-Aqsa dengan teknologi mutakhir.

Selain kamera dan pos polisi, aparat Israel juga ditempatkan di setiap gerbang Masjid Al-Aqsa, memberlakukan aturan masuk yang sewenang-wenang. Banyak jamaah ditahan dan disiksa di pos-pos ini sebelum dibawa ke kantor polisi terdekat.

Pengawasan dan Intimidasi

Pakar studi Al-Quds dari Universitas Istanbul 29 Mei, Abdullah Ma’ruf, menyoroti bagaimana keberadaan pos-pos keamanan di era Ottoman hanya terbatas di sekitar Benteng al-Quds.

Namun, sejak pendudukan Inggris, kebijakan keamanan semakin diperketat untuk menekan perlawanan rakyat.

“Israel tidak hanya mempertahankan pos polisi Qishla sebagai pusat utama di Kota Tua, tetapi juga menempatkan banyak pos keamanan di sekitar Al-Aqsa karena ingin mengendalikan kawasan ini sepenuhnya,” ujar Ma’ruf.

Ia menambahkan bahwa tujuan utama keberadaan pos-pos ini adalah menanamkan ketakutan di kalangan warga Yerusalem dan memastikan mereka selalu berada di bawah pengawasan ketat.

Dalam beberapa tahun terakhir, Israel semakin meningkatkan jumlah pos keamanan, termasuk di Bab Al-Amud dan sekitar Al-Aqsa, khususnya selama Ramadan.

“Ini menunjukkan bahwa mereka khawatir dengan besarnya jumlah jamaah yang datang ke Al-Aqsa selama bulan suci,” jelas Ma’ruf.

Ketegangan Menjelang Ramadan

Ma’ruf menekankan bahwa Ramadan tahun ini memiliki signifikansi khusus karena merupakan yang pertama sejak gencatan senjata di Gaza.

“Media Israel menunjukkan kekhawatiran besar dari aparat keamanannya bahwa konfrontasi di Gaza dapat meluas ke Yerusalem, dimulai dari Al-Aqsa,” katanya.

Ia menambahkan bahwa kebijakan keamanan Israel tidak bertujuan melindungi ketertiban, melainkan untuk menekan warga al-Quds dan mempersiapkan rencana jangka panjang di Al-Aqsa.

“Israel ingin mengambil bagian dari Al-Aqsa dan membangun sinagog di dalamnya, sebagaimana yang telah disuarakan oleh para pemimpin Zionisme religius dan kelompok ekstremis dengan dukungan beberapa anggota pemerintahan,” ujarnya.

Menurut Ma’ruf, ada dua tujuan utama dari langkah-langkah represif Israel ini:

Pertama, mencegah konfrontasi yang sedang berlangsung di Gaza dan Tepi Barat meluas ke Al-Aqsa.

Kedua, menekan warga Al-Quds agar menerima rencana pembagian Masjid Al-Aqsa antara Muslim dan Yahudi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here