Operasi “Tembok Besi” yang diluncurkan oleh penjajah Israel di Tepi Barat telah memasuki minggu kelima dengan eskalasi yang semakin meluas. Serangan ini mencakup kamp pengungsi di Jenin dan Tulkarm, serta meluas ke wilayah Tubas, khususnya Tamun dan Kamp Al-Far’a.
Operasi ini dimulai setelah keputusan kabinet keamanan Israel yang menambahkan “penguatan keamanan di Tepi Barat” sebagai salah satu tujuan perang. Sejumlah menteri dalam pemerintahan Israel juga telah menyatakan bahwa tahun ini adalah tahun pencaplokan Tepi Barat dan penerapan kedaulatan penuh atas wilayah tersebut.
Sebagai bagian dari upayanya mencapai tujuan ini, Israel menerapkan kebijakan hukuman kolektif yang brutal di semua aspek kehidupan, termasuk pembunuhan, pengusiran paksa, penangkapan, penggerebekan harian, serta penghancuran infrastruktur dan fasilitas umum. Kebijakan ini menjadi ancaman serius bagi keberadaan Palestina di wilayah tersebut.
Sejak dimulainya operasi ini, sebanyak 60 warga Palestina telah syahid, lebih dari 220 orang ditangkap, dan puluhan ribu lainnya mengalami pengusiran paksa. Selain itu, Israel telah melancarkan sekitar 14 serangan udara dengan melibatkan sekitar 10.000 tentara.
Replikasi Kehancuran di Jabalia
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 9 Februari, Channel 12 Israel menggambarkan tingkat kehancuran yang terjadi di Jenin sebagai replikasi dari kehancuran yang dialami Jabalia dan Gaza selama perang berlangsung.
Banyak indikasi menunjukkan bahwa Israel akan terus melanjutkan operasi ini tanpa batas waktu yang jelas. Para analis berpendapat bahwa apa yang terjadi saat ini adalah tahap awal pencaplokan Tepi Barat, pembubaran Otoritas Palestina, dan penghapusan keberadaannya.
Pakar urusan Israel, Muhammad Halsa, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sayap kanan Zionis sangat berambisi mencaplok Tepi Barat dengan memanfaatkan situasi perang. Hal ini terlihat dari penggunaan serangan udara, pembunuhan terarah, penghancuran lingkungan geografis Palestina, serta penindasan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Palestina atas dalih “memburu ancaman.”
Pengusiran Paksa
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) sekitar seminggu yang lalu, operasi “Tembok Besi” telah menyebabkan sekitar 40.000 warga Palestina kehilangan tempat tinggal. Banyak kamp pengungsi hampir sepenuhnya dikosongkan akibat serangan berulang dan destruktif yang membuat kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat bagian utara tidak lagi layak huni.
Pakar urusan permukiman, Jamal Jumaa, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pengusiran di Jenin, Tulkarm, dan kamp-kamp lainnya di utara Tepi Barat merupakan versi mini dari apa yang terjadi di Gaza. Penghancuran infrastruktur yang sistematis—termasuk jaringan air, listrik, sanitasi, jalan, serta klinik—membuat kembalinya warga Palestina ke rumah mereka menjadi sangat sulit.
Selain itu, agresi di Gaza juga digunakan sebagai dalih untuk pengusiran terorganisir. Israel telah mengusir lebih dari 28 komunitas Badui dan peternak, menguasai 240 kilometer persegi tanah, serta mengaktifkan 1.000 pos pemeriksaan yang membagi Tepi Barat menjadi kantong-kantong kecil yang dikelilingi oleh pos penjagaan ketat.
Undang-Undang untuk Mempersiapkan Pencaplokan
Pada 29 Januari, Knesset menyetujui secara awal undang-undang yang memungkinkan pemukim Israel membeli dan memiliki tanah di Tepi Barat.
Jurnalis Yedioth Ahronoth, Elyashiv Ben Kimon, menyebut bahwa undang-undang ini secara efektif membatalkan hukum Yordania tahun 1953 yang melarang orang asing yang bukan warga negara Yordania atau Arab membeli tanah di Tepi Barat. Dengan perubahan ini, kepemilikan Israel atas tanah di Tepi Barat semakin diperkuat.
Gerakan “Peace Now” memperingatkan bahwa undang-undang ini akan memberikan peluang bagi sekelompok kecil pemukim ekstremis untuk membeli tanah dan mendirikan permukiman baru, termasuk di jantung Hebron atau wilayah lain.
Mereka juga menekankan bahwa Knesset tidak memiliki wewenang untuk membuat undang-undang bagi wilayah yang bukan di bawah kedaulatan Israel, dan penerapan hukum Israel di wilayah pendudukan sama dengan pencaplokan, yang merupakan pelanggaran hukum internasional.
Dalam langkah lebih lanjut, komite legislatif Knesset menyetujui secara awal rancangan undang-undang yang mengganti istilah “Tepi Barat” dalam undang-undang Israel dengan “Yudea dan Samaria.”
Pencaplokan Situs Arkeologi
Pada 2023, Israel mengumumkan bahwa situs-situs arkeologi Palestina akan berada di bawah kendali Otoritas Purbakala Israel.
Menurut jurnalis Noa Spiegel dalam artikel di Haaretz pada 7 Juli 2024, terdapat lebih dari 3.200 situs arkeologi di Tepi Barat, sebagian besar berada di Area C, sementara ratusan lainnya berada di Area B.
Israel berupaya menggunakan arkeologi sebagai alat untuk mengukuhkan klaimnya atas tanah Palestina, sebagaimana dijelaskan oleh jurnalis Nir Hasson dari Haaretz: “Arkeologi Israel selalu menjadi langkah awal untuk mengklaim tanah, memperkuat semangat Zionisme, dan menarik dana serta wisatawan.”
Ekspansi Permukiman Ilegal
Laporan Peace Now pada 21 Januari 2025 mencatat bahwa dalam enam bulan terakhir tahun 2024, Israel membangun tujuh pos permukiman baru di Area B, melanggar Perjanjian Oslo yang memberikan Otoritas Palestina kendali sipil penuh di wilayah tersebut.
Tahun lalu, 52 pos permukiman ilegal didirikan di berbagai wilayah Tepi Barat. Pemerintah Israel juga mulai melegalkan 10 pos permukiman baru, di luar 14 yang sudah dalam proses legalisasi tahun sebelumnya.
Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, bahkan menciptakan “jalur legalisasi khusus” bagi 70 pos permukiman, yang memungkinkan pendanaan dan pembangunan fasilitas publik di permukiman ilegal.
Pencabutan Wewenang Otoritas Palestina
Pada Juli 2024, Israel mencabut kewenangan administratif Otoritas Palestina di Area B, terutama di daerah gurun Betlehem yang mencakup 3% dari wilayah Tepi Barat. Kewenangan perencanaan dan izin pembangunan kini dialihkan ke administrasi sipil Israel.
Jamal Jumaa menambahkan bahwa setelah Perjanjian Oslo, Israel telah melarang Otoritas Palestina dan lembaga internasional membangun dan mengembangkan wilayah Area C, yang mencakup 60% dari Tepi Barat, dengan tujuan memaksa warga Palestina untuk bermigrasi.
Dukungan dari Amerika Serikat
Pada 21 Januari 2025, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mencabut sanksi terhadap pemukim Israel yang terlibat dalam kekerasan terhadap warga Palestina, membatalkan kebijakan sebelumnya dari Joe Biden.
Laporan Israel Hayom mencatat bahwa Menteri Luar Negeri AS yang baru, Marco Rubio, adalah pendukung kuat Israel yang menggunakan istilah “Yudea dan Samaria” alih-alih “Tepi Barat.”
Menurut Peace Now, tahun 2024 bukan hanya puncak proyek permukiman ilegal Israel, tetapi juga tahun pencaplokan de facto yang menjadikan wilayah pendudukan bagian tak terpisahkan dari Israel, mengubahnya menjadi negara apartheid.