Spirit of Aqsa- Pada dini hari 16 Mei lalu, Israa Al-Dalu terbangun dari pingsannya. Saat itu, kegelapan menyelimuti, debu memenuhi udara, dan tubuhnya tidak terasa atau bisa digerakkan. Gadis berusia 17 tahun itu menyadari bahwa roket Israel yang menghantam rumahnya telah melemparkannya puluhan meter ke udara sebelum ia terhempas di tepi jalan dan kembali kehilangan kesadaran.
Ketika terbangun lagi di dalam ambulans, ia langsung bertanya kepada petugas medis, “Apakah ada bagian tubuh saya yang terpotong?” Petugas memilih untuk tidak menjawab, tetapi firasatnya benar. Kedua kakinya telah hilang.
Hidup Israa yang tinggal di Kota Gaza pun berubah drastis. Ia merasa dunianya runtuh dan segala sesuatunya telah berakhir. Kini, ia harus beradaptasi dengan kesendirian di rumah, belajar merangkak di lantai, serta menaiki tangga dengan tangan dan sisa kakinya.
Israa tinggal bersama ibunya yang sudah lanjut usia, sementara ayah dan saudara-saudaranya terpaksa mengungsi ke Gaza bagian selatan. Namun, di tengah penderitaan, ketakutan, dan minimnya pengobatan, kabar baik akhirnya datang. Israa mendengar bahwa pusat prostetik milik Balai Kota Gaza kembali beroperasi dengan pendanaan dari Komite Internasional Palang Merah yang berhasil memasukkan bahan baku untuk operasional. Israa segera menuju pusat tersebut dan memulai proses rehabilitasi untuk mendapatkan dua kaki buatan.
Secercah Harapan
Di dalam pusat prostetik yang dikelola Balai Kota Gaza, suara alat medis bercampur dengan helaan napas para pasien yang membawa kenangan traumatis. Mereka yang kehilangan anggota tubuh memulai perjalanan untuk mengembalikan mobilitas dan kehidupan mereka melalui terapi fisik dan pelatihan adaptasi yang memakan waktu hingga tiga bulan.
Ameer Shomali, seorang pria berusia 26 tahun, adalah salah satu pasien yang menjalani proses ini. Ia tidak bisa melupakan pengalamannya terbaring selama sehari penuh di lantai Rumah Sakit Al-Shifa tanpa perawatan medis, sementara luka di kaki dan perutnya terus mengucurkan darah. Ia hampir kehilangan nyawanya sebelum dipindahkan ke fasilitas kesehatan lain, menerima 10 kantong darah, dan harus menjalani amputasi kaki.
Bukan hanya Ameer, puluhan korban lainnya juga tergeletak di lorong rumah sakit tanpa perawatan, karena tenaga medis dipaksa pergi oleh pasukan pendudukan Israel.
Ameer kehilangan kakinya bukan karena roket, tetapi oleh tembakan sniper Israel pada Oktober 2023. Setelah tank-tank mundur, saudara-saudaranya mempertaruhkan nyawa untuk membawanya ke rumah sakit menggunakan gerobak, sambil menghadapi ancaman tembakan dari sniper dan drone.
Kini, lebih dari setahun sejak insiden itu, Ameer berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagi Ameer, kaki prostetik adalah “air kehidupan” yang akan membantunya bertahan dan setidaknya menggendong anaknya.
“Mereka Mendahuluiku ke Surga”
Si kecil Sila Abu Aqlin, berusia lima tahun, hanya mengingat bahwa ia sedang tidur bersama saudari-saudarinya, Siba, Farah, dan Lili, di kamar mereka. Orang tua mereka berada di ruangan lain ketika rumah mereka dibom pada 6 Desember 2023. Serangan itu menewaskan seluruh keluarganya, sementara Sila selamat seorang diri.
Ia terbangun di tengah reruntuhan tanpa kaki, yang diamputasi dari bagian atas pahanya. Kerabatnya yang mengadopsinya kesulitan menghibur Sila yang terus memanggil ibu, ayah, dan saudari-saudarinya.
Beberapa bulan kemudian, Sila mulai menerima kenyataan. Ketika ditanya tentang keluarganya, ia berkata, “Papa dan Mama sudah meninggal, begitu juga Siba, Farah, dan Lili. Mereka sekarang di surga, dan kaki saya juga di surga.”
Kini, Sila terlihat ceria di pusat prostetik, belajar menggunakan kaki buatan di lintasan yang dilengkapi jembatan logam. Ia berharap bisa kembali menikmati masa kecilnya yang terhenti.
Ribuan Pasien Menanti
Pusat prostetik Balai Kota Gaza, yang didirikan pada 1975 untuk membantu korban kekejaman Israel, sempat berhenti beroperasi pada awal perang Oktober 2023.
Namun, karena tingginya kebutuhan akibat banyaknya korban amputasi, pusat ini kembali beroperasi sebagian pada Juli 2024 dengan pendanaan dari Palang Merah Internasional. Lalu, pada Oktober 2024, pusat ini memperluas layanannya.
Menurut Nevin Al-Ghussain, manajer pusat prostetik, tujuh pasien telah menerima kaki buatan, termasuk lima anak-anak. Sebanyak 13 pasien lainnya menunggu giliran setelah menyelesaikan rehabilitasi. Namun, pusat ini menghadapi kendala besar, termasuk kekurangan bahan bakar untuk generator listrik yang mengoperasikan alat-alat medis.
Kendati demikian, layanan pusat ini masih terbatas, terutama karena pasien di Gaza selatan sulit mengaksesnya.
Tidak ada data pasti tentang jumlah korban amputasi selama perang. Namun, estimasi menyebutkan antara 5.000 hingga 6.000 orang kehilangan anggota tubuh, menurut Hisham Mahna, juru bicara Palang Merah Internasional.
Ia menambahkan, Palang Merah telah meluncurkan program untuk membantu para korban amputasi. Hingga kini, 5.000 korban telah mendaftar untuk menerima kaki buatan. Namun, program ini menghadapi tantangan besar, termasuk minimnya bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk oleh Israel, serta sulitnya mobilitas di Gaza.
Sumber: Al-Jazeera