Spirit of Aqsa- Harian Le Monde melaporkan bahwa perang Israel terhadap Palestina semakin memperburuk krisis dalam sistem global yang lahir setelah 1945. Media tersebut memperkirakan munculnya aliansi-aliansi baru, tetapi memperingatkan adanya ancaman keruntuhan nyata terhadap keadilan pidana internasional.
Dalam laporan mendalam yang ditulis oleh Frédéric Lemaître dan Philippe Ricard, Le Monde menyoroti bahwa perang Israel di Gaza memberikan keuntungan besar bagi Presiden Rusia Vladimir Putin. Perang tersebut mengalihkan perhatian dunia dari konflik di Ukraina.
Meski perang di Gaza membantu Moskow sebagian keluar dari isolasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perang ini juga menjadi serangan besar kedua terhadap hukum internasional. Jumlah korban sipil Palestina yang tinggi menjadi alasan utama, dengan Washington memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata di Gaza yang telah dihancurkan oleh serangan besar-besaran militer Israel.
Setahun setelah perang dimulai, perang di Gaza terus mengguncang kawasan Timur Tengah. Tindakan agresif yang dilakukan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menempatkan Israel dalam posisi kuat melawan Hamas, Hizbullah di Lebanon, bahkan di Suriah, seperti yang diungkapkan oleh Le Monde.
Transformasi Timur Tengah
Menurut Le Monde, Timur Tengah sedang mengalami transformasi. Sementara Iran dan Rusia melemah, Turki menunjukkan kekuatan. Di sisi lain, negara-negara Arab tampak stagnan, sementara Israel hampir berhasil memaksakan dominasinya di kawasan. Israel telah memperluas zona penyangga dengan Suriah dan menghancurkan hampir seluruh persenjataan lawannya. Bahkan, serangan terhadap Iran juga dianggap memungkinkan. Netanyahu menyatakan bahwa Israel kini menjadi “pusat kekuatan di kawasan.”
Titik Keruntuhan
Namun, perang ini melampaui kerangka regional dan membebani hubungan internasional. Sama seperti perang di Ukraina, konflik Gaza memperparah fragmentasi dunia. Lebih dari 45 ribu warga sipil Palestina tewas, dan Perdana Menteri Israel menjadi sasaran surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Dukungan tanpa syarat Amerika Serikat terhadap Israel telah menuai kritik tajam dari berbagai negara berkembang, semakin memperburuk krisis sistem multilateral yang muncul setelah Perang Dunia II.
Jurnalis Anthony El Samrani dari harian Lebanon L’Orient-Le Jour mengatakan, “Gaza bukan sekadar perang, melainkan titik keruntuhan.” Dalam artikelnya, ia menyebut perang ini sebagai “paku terakhir di peti mati sistem internasional yang mulai melemah sejak serangan 11 September 2001.”
Kritik terhadap Standar Ganda
Le Monde mencatat bahwa tanggapan internasional terhadap perang di Gaza menunjukkan standar ganda yang mencolok. Jika dalam kasus Ukraina, berbagai alat digunakan untuk menghukum Rusia dan mendukung korban perang, respons terhadap Gaza ditandai dengan keheningan atau kecaman lemah.
Tirana Hassan, Direktur Eksekutif Human Rights Watch, mengatakan bahwa respons terhadap perang di Ukraina menunjukkan apa yang dapat dilakukan dunia internasional untuk menegakkan hukum. Sebaliknya, dalam kasus Gaza, hukum internasional tampak diabaikan sepenuhnya.
Kritik serupa datang dari berbagai negara berkembang. Jurnalis India Barkha Dutt dalam Hindustan Times menyebut bahwa “sistem berbasis aturan” yang sering dikutip Barat tidak konsisten dalam penerapannya.
Peran Moskow dan Aliansi Baru
Sementara itu, Rusia dan China memanfaatkan situasi ini untuk merongrong kredibilitas sistem internasional yang didominasi Barat. Dalam pandangan akademisi Pratap Bhanu Mehta, “perang di Gaza telah menghancurkan sisa-sisa otoritas yang dimiliki Barat maupun hukum internasional.”
Masa Depan Sistem Internasional
Le Monde menyimpulkan bahwa kerusakan akibat perang Gaza tidak hanya mencakup kehancuran fisik Gaza, tetapi juga menghancurkan sistem multilateral yang kredibel. Rekonstruksi sistem ini membutuhkan waktu bertahun-tahun, terutama karena tidak ada kekuatan global yang mampu mempertahankan stabilitasnya.
Sumber: Le Monde