Spirit of Aqsa- Seorang pemuda Palestina, Mahmoud Auda, syahid ditembak oleh drone Israel saat keluar dari rumahnya di Beit Lahia, Gaza Utara, untuk mencari makanan bagi keluarganya yang kelaparan.
Mahmoud, yang merupakan tulang punggung keluarganya, menjadi salah satu korban dari lebih 80 ribu warga yang masih bertahan di wilayah utara Gaza meskipun menghadapi blokade total selama 52 hari.
Ayah Mahmoud, dalam kesaksiannya, mengungkapkan bahwa makanan telah menjadi barang langka di daerah tersebut, dan setiap upaya mencari makanan membawa risiko kematian akibat serangan Israel. “Makanan di sini seperti dicelupkan dalam darah. Warga yang keluar rumah untuk mencari air atau makanan sering menjadi target tembakan Israel,” ungkapnya.
Krisis Air dan Makanan di Tengah Serangan
Haji Mahdi Shabat, pengungsi dari Beit Hanoun yang kini berada di Beit Lahia, mengungkapkan kondisi hidup keluarganya yang hanya mengandalkan air, garam, dan sisa roti. “Kami mengambil air dari sumur yang hanya bisa beroperasi seminggu sekali dengan energi surya, itu pun di bawah ancaman tembakan dan ledakan,” katanya.
Israel juga menghantam rumah sakit Kamel Adwan, menghancurkan sumber daya seperti listrik dan air bersih. Warga terpaksa mencari makanan di rumah-rumah kosong yang ditinggalkan, namun persediaan kini benar-benar habis.
Tolak Pengusiran Paksa
Warga Beit Lahia, seperti Mohammad al-Masri, menegaskan penolakan mereka untuk meninggalkan tanah mereka. “Kami lebih baik mati daripada menyerahkan tanah ini. Anak-anak saya kelaparan, dan kami tidak punya apa pun lagi, tapi kami tetap bertahan,” ujarnya.
Warga Gaza menyebut blokade dan serangan ini sebagai bentuk hukuman kolektif oleh Israel. Yazan al-Asmar, warga Jabalia, menegaskan bahwa penderitaan ini adalah harga yang harus dibayar untuk tetap mempertahankan wilayah mereka. “Kami menolak meninggalkan rumah, meski harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain di bawah serangan bertubi-tubi,” katanya.
Sementara itu, agresi militer Israel sejak 7 Oktober 2023, yang didukung Amerika Serikat, telah menyebabkan lebih dari 149 ribu korban tewas dan luka-luka, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Kejahatan ini juga telah menciptakan salah satu bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah, dengan kelaparan dan kehancuran yang meluas di Gaza.