Spirit of Aqsa- Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza Utara, yang seharusnya menjadi tempat perawatan dan perlindungan, kini berada di ambang kehancuran akibat gempuran serangan udara Israel sejak beberapa minggu terakhir. Terletak di antara Beit Lahia dan Jabalia, rumah sakit ini merupakan satu-satunya fasilitas kesehatan yang tersisa untuk melayani 300 ribu warga yang terjebak di wilayah tersebut, tanpa bisa melarikan diri.
Menurut laporan dari Le Temps, Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, Hossam Abu Safiyeh, berbagi kisah perjuangan untuk mempertahankan operasional rumah sakit yang telah dihantam oleh militer Israel hingga 14 kali. “Ini hari ke-30 blokade, situasinya benar-benar bencana. Setiap sudut rumah sakit terkena dampak serangan,” ungkapnya dengan suara lelah.
Dr. Hossam menggambarkan kerusakan parah di lantai-lantai rumah sakit, terutama lantai tiga yang menyimpan obat-obatan dan peralatan medis yang baru tiba beberapa hari sebelumnya. Serangan juga menghancurkan halaman rumah sakit yang kini dipenuhi puing-puing, dan merusak fasilitas air serta listrik, membuat operasional semakin sulit.
Unit dialisis hancur terbakar, dan empat dokter terluka saat mencoba memadamkan api. Serangan juga menghantam bangsal anak-anak, menyebabkan seorang gadis berusia 13 tahun terluka parah saat sedang menjalani pemulihan dari operasi sebelumnya. “Kami terpaksa memindahkan semua anak ke lantai bawah. Tidak ada yang bisa memahami situasi ini—mengapa rumah sakit diserang seperti ini?” ujarnya.
Satu Dokter untuk 145 Pasien
Rumah sakit ini sebelumnya merawat lebih dari 600 pasien, dokter, dan pengungsi, terutama yang berasal dari Kamp Pengungsi Jabalia dan Beit Lahiya, yang menjadi sasaran utama serangan Israel selama sebulan terakhir. Namun, sejak penyerbuan tentara Israel pada 25 Oktober yang menuduh ada pejuang Hamas di rumah sakit, banyak pasien dan staf medis terpaksa melarikan diri. Tentara Israel bahkan menangkap 44 dari 70 anggota tim medis, dan hanya 14 orang yang dilepaskan.
Kini, hanya tersisa 145 pasien yang paling parah kondisinya, sementara staf medis terbatas pada satu dokter saja yang mampu melakukan operasi. “Setiap hari kami kehilangan pasien akibat kurangnya sumber daya,” ujar Dr. Hossam yang terus meminta bantuan dari delegasi internasional.
Evakuasi yang Langka
Dr. Hossam Abu Safiyeh, yang kehilangan putranya dalam serangan pesawat tak berawak di Jabalia, merasa frustrasi karena sulitnya mengevakuasi pasien. Sementara itu, Athanasios Gargarvanis, dokter WHO, mengatakan bahwa dua misi evakuasi berhasil memindahkan 37 pasien yang membutuhkan perawatan kritis, namun hambatan masih besar.
Maha Radwan, seorang ibu dari Beit Lahiya yang rumahnya hancur dan suaminya ditahan, terpaksa datang ke rumah sakit dengan anaknya yang menderita gangguan pernapasan. “Hari Minggu lalu, kami terbangun oleh ledakan besar, debu dan puing-puing menghantam kami. Anak-anak menjerit ketakutan. Ini benar-benar mimpi buruk,” katanya.