Spirit of Aqsa, Palestina- Pada awalnya, begitu diumumkan pembunuhan “tokoh-tokoh kepemimpinan besar” dari Hamas di ibu kota Lebanon, Beirut, berita tersebut langsung menjadi sorotan dan dianalisis untuk mengetahui siapa pemimpin yang menjadi target.
Setelah beberapa prediksi dan antisipasi, berita pasti datang mengenai penargetan Wakil Kepala Kantor Politik Hamas, Sheikh Saleh Al-Arouri, bersama dua pemimpin Brigadir Al-Qassam dan empat orang lainnya dari kader Hamas beserta anak-anak mereka.
Salah satu dari dua anggota Al-Qassam yang meninggal adalah syahid Azzam Al-Aqra, yang tak kalah berbahayanya bagi Israel dibandingkan Sheikh Al-Arouri. Israel telah memburunya selama bertahun-tahun dan menempatkannya dalam daftar pencarian mereka.
Pendidik Generasi
Azzam Al-Aqra, lahir pada 31 Desember 1969, di desa Qablan di selatan kota Nablus, di Tepi Barat utara, dari keluarga yang berjuang dan berkorban. Ia tumbuh di lingkungan masjid dan diasuh di sana, dikenal sebagai “pendidik generasi” di masjid-masjid tersebut. Dia juga seorang penghafal Al-Qur’an.
Ia menerima pendidikan dasar dan menengah di sekolah desa dan melanjutkan hingga sekolah menengah umum, meskipun meninggalkan bangku sekolah lebih awal meski memiliki prestasi akademis yang baik. Hal ini dilakukan untuk membantu ayahnya dalam pekerjaan dan biaya hidup keluarganya, yang terdiri dari 9 orang (5 laki-laki dan 4 perempuan), ditambah orang tua mereka.
Azzam dibesarkan dengan Ahlak yang baik, dan sejak kecil dikenal dengan keberaniannya, kecerdasannya, kesabaran, dan pengorbanannya. Ia disukai dan berpengaruh di antara penduduk desanya, desa-desa tetangga, dan wilayah di timur dan selatan Nablus. Ini mendorongnya untuk terlibat dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel sejak dini, bergabung dengan perjuangan bersama pemuda desanya dan bergabung dengan perlawanan terhadap invasi Beirut pada 1982.
Pengalaman, Penahanan, dan Pengasingan
Penangkapan pertama Azzam Al-Aqra terjadi pada 1989, di mana ia dijebloskan ke dalam tahanan selama sembilan bulan dengan tuduhan melawan Israel. Ia ditangkap kembali awal 1992 dan dijatuhi hukuman penjara administratif selama enam bulan karena pendudukan tidak bisa membuktikan tuduhan apapun terhadapnya.
Namun, dia terus dikejar hingga akhirnya ditangkap pada Desember tahun yang sama dan diasingkan bersama lebih dari 400 tahanan dari kepemimpinan dan kader gerakan Hamas dan Jihad Islam ke Marj al-Zuhur di selatan Lebanon.
Al-Aqra semakin mendalami pemikiran Hamas selama pengasingannya dan meraih makna pengorbanan dan jihad. Ia kemudian terlibat dalam aksi militer dan menjadi salah satu pendiri Brigade Al-Qassam. Kemudian, ia pindah ke Suriah, tetapi meninggalkannya setelah peristiwa revolusi 2011, menuju Mesir dan kemudian Turki.
Berita mengenai kehidupan Al-Aqra menjadi langka bagi keluarganya. Menurut adik Al-Aqra, informasi tentangnya sangat sedikit, dan kontak mereka dengannya terputus, dengan alasan keamanan keluarganya dan ketakutan akan pengejaran oleh pendudukan.
Adiknya mengatakan, “Kontak terakhir saya dengannya pada 2006, dan saya tidak bertemu dengannya selama 30 tahun terakhir. Kami tidak pernah bertemu sebagai saudara sejak intifada pertama, kecuali satu pertemuan. Orang tua saya meninggal dan dia tidak bisa berpamitan.”
Kematian keluarga
Keluarga tetap menjadi target Israel dengan seringnya invasi dan pelecehan. Adiknya, Husam, ditahan selama 3 tahun, dan seluruh saudara laki-laki dan saudara perempuan mereka dilarang bepergian. Mereka dan anak-anak mereka juga dilarang mendapatkan izin untuk masuk ke Israel untuk bekerja atau bepergian.
Teroris Israel tidak pernah mencabut nama Azzam Al-Aqra atau anggota keluarganya dari agenda mereka. Mossad memanggil adiknya, Husam, enam bulan yang lalu dan menanyakan tentangnya dengan peringatan dan mencoba memerasnya untuk mendapatkan informasi tentang saudara lelakinya yang telah syahid.
Husam mengatakan, “Ketika saya memberi tahu mereka bahwa saya tidak tahu apa-apa tentangnya, sang penyidik bertanya, ‘Apa yang telah dia lakukan kepada Anda?’ dan saya menjawab, ‘Lebih baik Anda tidak tahu.'”
Dengan dimulainya serangan terhadap Gaza, pendudukan menahan Husam dan saudaranya serta suami saudara perempuannya yang sakit, menahan mereka selama beberapa jam di kamp Hawara sambil melakukan interogasi lapangan dan mengancam mereka untuk tidak berkomunikasi dengan syahid Azzam.
Semua itu menimbulkan kesimpulan bagi Husam dan keluarganya bahwa Israel dan aparat keamanannya telah menetapkan Azzam dalam daftar pembunuhan riil. Mereka “mengincar setiap pria dan wanita merdeka,” seperti yang dijelaskan oleh Husam, dan ia menambahkan, “Itulah mengapa kami tidak terkejut dengan berita kematiannya, bahkan kita berharap dan mencarinya.”
Berduka dan Mogok Kerja
Saat kabar syahidnya Azzam Al-Aqra mencapai telinga penduduk desa Qablan, demonstrasi kemarahan pun merebak. Mogok kerja umum dan berkabung diumumkan di desa tersebut. Faksi-faksi pergerakan, terutama Fatah dan Hamas, menyampaikan belasungkawa melalui pengeras suara di masjid-masjid dan mengajak orang untuk bergabung di “rumah berduka” guna menyambut orang-orang yang datang memberikan penghiburan atas syahidnya.
Husam Al-Aqra menutup dengan mengatakan bahwa saudaranya, syahid Azzam, berhasil memengaruhi generasinya dengan perlawanannya. Ini menjadi warisan bagi generasi berikutnya, dan dengan syahidnya, mereka menegaskan bahwa “Azzam, seperti seluruh rakyat Palestina, termasuk syuhada, tawanan, dan korban luka. Penjajahan tidak akan meruntuhkan semangat dan keteguhan bangsa ini.”
Sumber: Aljazeera