Spirit of Aqsa, Palestina- Teroris Israel melanjutkan pembantaian di Jalur Gaza. Meski begitu, Tel Aviv mulai menemui hambatan. Ini terkait dengan kampanye serangannya di media sosial, yang dimentahkan oleh gelombang penolakan masyarakat dunia.

Pengguna media sosial di seluruh dunia, dan terutama kaum muda, telah menyaksikan kehancuran yang disebabkan oleh pemboman tanpa pandang bulu oleh Israel terhadap wilayah kantong Palestina itu di platform media sosial pilihan mereka. Gambar didapatkan secara real-time selama lebih dari sebulan.

Israel telah melakukan upaya-upaya membatasi informasi dari Gaza dengan menahan masuknya jurnalis internasional ke wilayah itu. Namun, terlepas dari semua upaya ini, berkat media sosial, Israel tidak lagi mampu menyembunyikan kebenaran tentang tindakannya di Palestina.

Kini pengguna media sosial secara terbuka mengejek Israel untuk mengendalikan narasi perangnya di Gaza, dan dengan cepat mengungkap kebohongan Israel yang akhirnya juga teramplifikasi oleh media arus utama.

Pada tanggal 29 November, kampanye #WeWontBeSilenced diluncurkan di seluruh platform media sosial, mendorong postingan grafis ini, atau gambar dengan satu tangan menutupi mulut, dan pesan relevan yang ditulis di sisi lain atau poster.

“Sejak diluncurkan, video ini telah menerima ratusan ribu tayangan di berbagai platform dan akan terus mendapatkan daya tarik seiring dengan dampak yang dirasakan akun media sosial akibat pelarangan bayangan, sensor, dan intimidasi,” ujar analis dunia Islam, Omar Sulaeman, kepada Al Jazeera, Jumat (1/12/2023).

Bukan hanya Israel yang mengetahui bahwa mereka kalah dalam perang narasi. Sekutu dan penyandang dana Israel, Amerika Serikat (AS), telah mengungkapkan kekhawatirannya dengan perubahan opini publik mengenai konflik tersebut.

Politico melaporkan bahwa para pejabat senior pemerintahan Biden khawatir tentang bagaimana gencatan senjata sementara “akan memungkinkan jurnalis mendapatkan akses yang lebih luas ke Gaza dan peluang untuk lebih menjelaskan kehancuran di sana dan mengubah opini publik terhadap Israel.

“Dengan kata lain, para pejabat AS menyadari arah perubahan opini publik sejak awal episode pemboman ini dan khawatir bahwa masuknya jurnalis ke Jalur Gaza dapat mengungkap lebih jauh genosida yang dilakukan Israel di sana atas izin dan dukungan mereka,” tulis media itu.

Sementara itu, bukti lainnya menunjukan bahwa, simpati partai penguasa AS, Partai Demokrat, di Timur Tengah kini lebih tertuju pada rakyat Palestina dibandingkan dengan Israel, 49% berbanding 38% sebelumnya. Pergeseran simpati Partai Demokrat ini merupakan indikasi melemahnya monopoli media arus utama terhadap narasi Israel-Palestina.

Di sisi lain, banyak anggota Partai Republik juga mulai memikirkan kembali hubungan AS-Israel sehubungan dengan bantuan luar negeri. Doktrin “America First” yang diusung mantan Presiden AS Donald Trump telah membuat banyak anggota Partai Republik mempertanyakan apakah mendukung Israel dengan bantuan militer reguler harus tetap menjadi prioritas kebijakan luar negeri partai tersebut.

Tekanan Dunia

Serangan Israel ke Gaza, Palestina, menarik simpati banyak pihak di dunia. Sebagian besar mengecam langkah Israel yang tanpa pandang bulu menyerbu Gaza dengan dalih memusnahkan milisi Hamas namun menewaskan banyak warga sipil dan menimbulkan kerusakan total di wilayah itu.

Data dari Proyek Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata (ACLED) yang meliput demonstrasi antara 7 dan 27 Oktober, mencatat ada 3.761 aksi demo pasca serangan ini di seluruh dunia. 95% aksi berjalan damai, namun sekitar 5% berubah menjadi kekerasan atau dibubarkan oleh polisi atau badan keamanan lainnya.

“Mayoritas demonstrasi, sekitar 86%, bersifat pro-Palestina, sementara sebagian kecil lainnya bersifat netral, menyerukan perdamaian dan gencatan senjata tanpa mengambil sikap pro-Israel atau pro-Palestina secara eksplisit,” ujar lembaga itu dikutip Reuters.

Jumlah demonstrasi terbesar yang tercatat secara global terjadi setelah ledakan kontroversial di Rumah Sakit Al-Ahli al-Arabi di Kota Gaza pada 17 Oktober. Hamas menuding ini merupakan aksi Israel, sementara Tel Aviv menyalahkan insiden ini pada kelompok Jihad Islam.

Meskipun protes di kota-kota seperti London, Berlin dan Washington mendapat perhatian media terbesar di negara-negara Barat, sebagian besar demonstrasi yang dicatat oleh ACLED terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Wilayah ini mayoritas penduduknya beragama Islam dan bersikap pro-Palestina.

Bila dipandang dari segi regional, kota-kota besar di Eropa seringkali diguncang oleh protes dan protes balasan antara demonstran pro-Palestina dan pro-Israel. Beberapa di antaranya berubah menjadi kekerasan.

Di Berlin, ACLED melaporkan ratusan demonstran ditangkap dalam beberapa protes selama bulan Oktober, ketika pengunjuk rasa pro-Palestina bentrok dengan polisi.

Di pusat kota Paris, ribuan orang melakukan unjuk rasa pada tanggal 4 November untuk menyerukan gencatan senjata dengan plakat bertuliskan “Hentikan siklus kekerasan” dan “Tidak melakukan apa pun adalah sebuah pembiaran”. Pihak berwenang Prancis sebelumnya telah melarang beberapa pertemuan pro-Palestina karena kekhawatiran akan gangguan publik.

Lebih dari 300.000 demonstran pro-Palestina berpawai melalui pusat kota London Sabtu lalu. Polisi menangkap lebih dari 120 orang ketika mereka berusaha menghentikan pengunjuk rasa sayap kanan untuk menyergap demonstrasi utama.

Di Amerika Serikat (AS), pawai pro-Palestina di Washington menjadi yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Di universitas-universitas, kelompok mahasiswa yang berduel saling berhadapan dalam ketegangan, dan ada laporan pelecehan dan penyerangan terhadap mahasiswa pro-Israel dan pro-Palestina.

“AS adalah tempat terjadinya demonstrasi tandingan dalam jumlah tertinggi yang melibatkan pengunjuk rasa pro-Israel dan pro-Palestina,” tambah lembaga itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here