Spirit of Aqsa | Kehidupan rakyat Palestina khususnya di Jalur Gaza semakin menderita setelah otoritas setempat melaporkan beberapa warganya suspect virus corona.
Otoritas Gaza telah mengambil sejumlah langkah, termasuk penutupan sekolah, jam malam dan karantina atau isolasi bagi warga yang memiliki gejala ringan atau yang baru tiba dari luar Gaza.
Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari perjuangan Gaza melawan Covid-19.
Sepekan setelah laporan dua kasus pertama penyebaran virus corona di Gaza, gerakan Hamas mengambil langkah dengan membangun dua fasilitas karantina massal di perbatasan Utara dan Selatan Gaza.
Pusat karantina massal ini disiapkan sebagai penampungan sementara warga yang memiliki gejala ringan terinfeksi virus corona dengan kapasitas 1000 orang.
Sebelumnya Hamas juga telah mengoperasikan tambahan berupa 18 pusat karantina di klinik dan hotel untuk menunjang pencegahan penyebaran Covid-19.
Dilansir dari Republika, Sejauh ini terdapat 1.700 warga yang ditempatkan di fasilitas karantina darurat, salah satunya jurnalis bernama Nima Amraa. Dia kembali ke Gaza dari Mesir awal Maret lalu.
Amraa dikarantina di sebuah gedung sekolah. Menurutnya tempat tersebut tak siap menampung banyak penduduk. Selain itu, fasilitasnya masih belum layak dan memadai.
Dia menghabiskan waktu satu setengah pekan di sebuah kamar dengan lima orang lainnya. “Saya khawatir setelah melihat bahwa kita akan tidur di matras di lantai dan kita akan berenam dalam satu kamar. Kita makan bersama serta tak ada isolasi,” ucapnya.
Amraa mengungkapkan dia dan teman-teman sekamarnya mengambil tindakan pencegahan, seperti menghindari kontak langsung serta menjaga jarak matras mereka masing-masing sejauh dua meter. Namun, hal itu tak menjamin penyebaran virus.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan Gaza hanya memiliki 60 resporatory (alat bantu pernapasan), sekitar 45 diantaranya sudah digunakan oleh pasien Covid-19.
Para ahli memperingatkan jika epidemi virus corona di Gaza kemungkinan akan menjadi bencana besar, mengingat tingkat kemiskinan yang tinggi, populasi penduduk padat, dan terbatasnya alat serta lemahnya sistem kesehatan akibat blokade Israel sejak 14 tahun silam. (QNN/Republika)