Spirit of Aqsa, Palestina- Sebanyak 54 warga Palestina di dusun Al-Baqa di wilayah pendudukan Tepi Barat merobohkan sebagian besar gubuk mereka. Warga Palestina itu pergi bersama hewan-hewan ternak mereka secara massal setelah sekelompok penggembala Israel mendirikan lahan pertanian beberapa puluh meter dari dusun itu pada Juni.
Pihak Palestina mengatakan, para penggembala Israel, yang sering membawa senjata, mencoba mengintimidasi mereka dengan berkeliaran di sekitar dusun dan terkadang melewati rumah mereka pada malam hari. Kini di lereng gunung yang gersang dan menakutkan itu, hanya orang-orang Israel yang tersisa.
“Tugas mereka adalah memprovokasi kami. Mereka ingin mengosongkan area tersebut,” kata Muhammad Mleihat (59 tahun) salah satu pemimpin desa, dilansir The New York Times, Selasa (3/10/2023).
Di wilayah terpencil Tepi Barat, komunitas penggembala Palestina meninggalkan rumah mereka dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat yang sama, para pemukim Israel membangun pos-pos penggembalaan liar yang jumlahnya hampir mencapai rekor tertinggi.
Mereka sering kali membangun permukiman liar di dekat desa-desa Palestina. Sebuah badan pengawas independen Israel yang memantau aktivitas pemukiman, Kerem Navot, mengatakan, setidaknya 20 permukiman liar baru telah didirikan sejak awal tahun ini, beberapa di antaranya telah dibongkar oleh tentara Israel sebelum dipasang kembali.
Pembangunan permukiman itu mempercepat perluasan kehadiran warga sipil Israel di wilayah dengan luaz lebih dari 140 mil persegi. Pada saat yang bersamaan warga Palestina yang tinggal di daerah pedesaan yang sama justru harus mengungsi.
“Mengevakuasi suatu populasi bukanlah hal yang terbaik. Tetapi, kita berbicara tentang perang atas tanah, dan inilah yang terjadi pada masa perang,” kata Ariel Danino (26 tahun), seorang pemukim Israel yang tinggal di sebuah pemukiman liar dan membantu memimpin upaya untuk membangun permukiman liar baru.
Fenomena ini merupakan pendekatan yang relatif baru terhadap pemukiman Israel di Tepi Barat. Sejak 1967, Israel telah memperkuat kendalinya atas Tepi Barat dengan menyediakan tanah, sumber daya, dan perlindungan bagi lebih dari 130 permukiman baru Israel di wilayah tersebut. Mayoritas adalah kota-kota kecil yang dikelilingi pagar, dijaga oleh tentara Israel dan dianggap ilegal oleh sebagian besar dunia.
Kendati demikian, Israel masih mengizinkan pembangunan permukiman baru di dalam pemukiman yang sudah ada. Proses ini telah dipercepat di bawah pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Para aktivis pemukim telah lama membangun perkemahan di lahan kecil dekat permukiman yang ada, dengan harapan dapat secara bertahap memperluas batas permukiman. Sekitar 2018, mereka menjadi lebih ambisius. Sekelompok kecil pemukim secara sistematis mulai mendirikan pos-pos penggembalaan di lokasi-lokasi yang lebih terpencil.
Para pemukim Israel berkeliaran di lereng bukit di sekitarnya dengan beberapa ribu domba, dan kadang-kadang menganiaya para penggembala Palestina yang menghalangi mereka. Bahkan segelintir penggembala Israel berkomitmen dengan cepat membangun kehadiran warga sipil di wilayah yang jauh lebih luas.
“Dengan cara inilah negara akan dilibatkan dalam tugas tersebut,” ujar Zeev Hever, seorang pemimpin pemukim yang memelopori strategi tersebut dalam pidatonya pada 2021.
“Kami akan berperilaku seolah-olah tanah ini adalah milik terakhir yang kami miliki dalam hidup ini. Dan negara juga akan memperlakukan tanah ini dengan cara yang sama,” kata Hever.
Pada awal 2021, Hever memperkirakan bahwa strateginya telah melipatgandakan penyebaran geografis pemukiman tersebut, dengan peningkatan hampir 40 mil persegi dalam waktu sekitar tiga tahun. Menurut perkiraan Kerem Navot, lahan penggembalaan pertanian kini menempati lahan seluas 100 mil persegi, sehingga totalnya mencapai sekitar 6 persen dari luas Tepi Barat.
“Tujuannya adalah untuk memperkuat kehadiran Yahudi di wilayah-wilayah utama di Tepi Barat untuk mencegah kelayakan negara Palestina,” kata Shaul Arieli, mantan kolonel di Angkatan Darat Israel.
Sepanjang tahun ini, tiga komunitas Palestina yang menampung sekitar 370 penduduk telah meninggalkan desa mereka, dengan alasan meningkatnya intimidasi oleh pemukim Israel di dekatnya. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB mengatakan, lebih dari 700 warga dari komunitas lain juga telah mengungsi ke daerah yang lebih aman sejak tahun lalu.
Desa-desa Palestina yang ditinggalkan adalah tempat sederhana dan miskin tanpa jalan atau pertokoan. Bangunan-bangunan tersebut merupakan kumpulan kecil bangunan satu lantai, gubuk-gubuk yang terbuat dari besi bergelombang dan tenda-tenda yang tersebar secara acak di lereng gunung. Bangunan itu didirikan tanpa izin, serta terputus dari sumber air dan listrik.
Namun lokasi mereka strategis. Penduduk dan kawanan pengembara mereka tersebar luas di Tepi Barat dan mempersulit pembangunan pemukiman Israel di tempat-tempat penting. Kini, hanya tersisa beberapa bangunan saja.
Para penduduk membawa sebagian besar dinding logam tersebut untuk membangun rumah baru yang lebih dekat dengan kota-kota Palestina. Mereka berlarian mencari barang-barang yang tertinggal seperti sebotol pil, buku sekolah berisi tulisan tangan anak-anak, dan panduan membuat kata sandi komputer.
“Bayangkan bagaimana rasanya meninggalkan tempat yang sudah Anda tinggali selama 40 tahun,” kata Mleihat, penggembala Palestina yang melarikan diri dari Al Baqa.
Alasan kepergian mereka antara lain karena ekonomi. Kawanan pemukim merumput di rumput yang sebelumnya hanya dimakan oleh domba orang Palestina, sehingga menimbulkan kelangkaan.
Mereka juga memblokir akses ke mata air dan kolam yang mudah dijangkau oleh domba-domba Palestina. Dengan berkurangnya pakan ternak dan air, warga Palestina semakin sulit bertahan hidup.
Namun sebagian besar warga Palestina menyatakan, mereka meninggalkan negara tersebut karena rasa takut. Dalam sebuah wawancara, warga Palestina dari empat dusun menceritakan bagaimana para penggembala pemukim sering memasuki desa mereka, membawa senjata, dan berteriak serta menghina warga.
Mleihat mengatakan, setelah para pemukim mendirikan kamp di dekat desanya pada Juni, kelompok yang terdiri dari tiga atau empat pemukim memasuki rumah kecilnya dengan membawa senjata pada dini hari.
“Mereka memasuki pintu depan kami beberapa kali, mencoba meniru cara tentara Israel menggerebek rumah-rumah. Mereka ingin kami menyerang mereka sehingga dinas keamanan mempunyai alasan untuk menangkap kami,” ujar Mleihat.
Di beberapa desa, para pemukim memecahkan jendela dan mencuri hewan serta peralatan pertanian. Setidaknya dalam dua kejadian tahun ini, para pemukim memukuli warga Palestina, sehingga mereka harus dirawat di rumah sakit.
Para pemukim menganggap warga Palestina membesar-besarkan situasi ini. Mereka mengatakan, kekerasan apa pun terhadap para penggembala Palestina tidak ada artinya jika dibandingkan dengan serangan mematikan warga Arab terhadap warga sipil Israel.
Banyak dari mereka yang mengungsi dari pedesaan terpencil itu berasal dari komunitas Badui Palestina yang hidup seminomade. Mereka terkadang bermigrasi ke wilayah tersebut karena pilihan mereka sendiri.
“Tidak ada yang menyuruh mereka pergi, tidak ada yang memaksa mereka untuk pergi, dan tidak ada yang tahu mengapa mereka pergi,” kata Eliana Passentin, juru bicara dewan Binyamin, yang memberikan layanan kepada permukiman Israel.
Rabi Israel, Arik Ascherman mengatakan, para pemukim tidak perlu menyakiti secara fisik para penggembala Palestina untuk mendorong mereka pergi. Ascherman adalah seorang rabi Israel yang menjalankan jaringan dukungan untuk beberapa desa Palestina yang terancam punah.
“Jadi ketika para pemukim mendirikan kamp di dekat sebuah dusun Palestina, kehadiran mereka menimbulkan ketakutan,” kata Rabbi Ascherman. (Republika)