“Kau lapar, maka kau target.”
Beginilah Mediapart menggambarkan cara kerja mesin pembunuhan Israel di Gaza, yang menyulap antrean bantuan kemanusiaan menjadi titik eksekusi terbuka.
Dalam laporannya, jurnalis Gwénaël Lenoir menghimpun kesaksian warga Gaza yang setiap hari berjudi dengan maut demi sekarung tepung atau sebungkus makaroni. Mereka tahu: pergi ke “titik distribusi” bisa berarti tak pernah kembali.
Salah satunya Yusuf (22), yang berangkat bersama sahabatnya ke lokasi bernomor 3—dikenal dengan nama Tina Rafah. Sesampainya di sana, kerumunan orang lapar sudah menanti. Tiba-tiba, peluru berdesing dari tank dan drone. Yusuf roboh terkena tembakan, sementara temannya berhasil melarikan diri.
Di titik yang sama, tewas pula legenda sepak bola Palestina, Suleiman al-Obeid, yang dikenal sebagai Pele Palestina. Ia menolak peringatan istrinya agar tak pergi. “Anak-anakku butuh makan,” katanya sebelum berangkat. Ia akhirnya ditembak drone Israel, meninggalkan istri dan lima anak dalam pilu mendalam.
Bagi warga Gaza, roti kini bercampur darah.
Menurut data PBB, lebih dari 2.000 orang dibunuh saat mencari bantuan makanan—sebagian besar di dekat pusat distribusi Gaza Humanitarian Foundation dan pos perbatasan Zikim.
Kekacauan yang Terencana
Mediapart menegaskan, pembantaian ini bukan “kecelakaan.” Pusat bantuan hanya dibuka rata-rata 20 menit sehari, diiringi hujan peluru dari tentara dan para “kontraktor bersenjata.” Tujuannya jelas: menciptakan ketakutan, menebar kekacauan, dan menjadikan lapar sebagai senjata.
Lebih janggal lagi, lembaga yang mengatur distribusi itu—Gaza Humanitarian Foundation—bukanlah organisasi kemanusiaan berpengalaman. Ia muncul tiba-tiba, berlabel “AS–Israel,” tanpa rekam jejak, tanpa transparansi dana, dan bertentangan dengan prinsip dasar independensi serta netralitas. Keberadaannya justru memutus jalur distribusi tradisional yang selama puluhan tahun dikelola PBB dan NGO terpercaya.
Israel sejak awal memang mengincar kendali penuh atas bantuan. Tuduhan bahwa Hamas “merampas bantuan” telah berulang kali dibantah oleh pejabat PBB, NGO internasional, bahkan laporan resmi USAID. Namun tuduhan itu cukup dijadikan dalih agar Washington mendukung skema yang kini terbukti membawa maut.
Gaza bukan hanya terkepung oleh tembok dan senjata, tetapi juga oleh mesin lapar yang diatur dengan rapi. Dalam situasi ini, setiap perut kosong adalah target, setiap antrian adalah risiko, dan setiap butir tepung bisa dibayar dengan nyawa.