Spirit of Aqsa– Warga di Jalur Gaza menyatakan penolakan keras terhadap rencana pengosongan yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump. Terlepas dari penderitaan yang mereka alami selama bertahun-tahun di bawah penjajahan dan bombardir Israel, mereka bertekad tak akan terusir kembali.
“Masyarakat Gaza telah bertahan selama puluhan tahun akibat perang, pengepungan, dan pengungsian paksa. Kami tidak dihapuskan,” ujra Abeer Z Barakat, warga Kota Gaza yang baru pulang dari pengungsian ke rumahnya yang hancur akibat agresi Israel, dikutip Republika.
Ia menyatakan bahwa kehidupan di Gaza saat ini sungguh tak mudah. Ia sempat menyampaikan hanya memiliki air setengah botol mineral untuk sekeluarganya. Bagaimanapun, ia bertekad tak akan terusir kembali seperti leluhur mereka pada 1948.
Gagasan untuk mengusir secara paksa warga Palestina, kata dia, merupakan kelanjutan dari Nakba, sebuah upaya yang disengaja untuk menghapus warga Palestina dari tanah mereka sendiri. “Kami tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali di bawah bendera pendudukan baru,” dosen Bahasa Inggris itu melanjutkan.
Ia menekankan, bahwa saran Trump untuk mengosongkan Gaza secara paksa dan mengirimkan pasukan AS untuk mengambil alih bukan hanya pelanggaran hukum internasional—tetapi merupakan dukungan langsung terhadap pembersihan etnis. “Hal ini mencerminkan pola pikir kolonial yang berbahaya yang mengabaikan keberadaan, identitas, dan hak-hak Palestina.”
Ia menekankan bahwa Gaza bukanlah sebuah lahan kosong yang menunggu pendudukan asing. Wilayah itu adalah rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina yang hidup di bawah pengepungan, mengalami pembantaian yang tak terhitung jumlahnya, dan terus menolak pengungsian.
“Tidak ada kekuatan asing yang berhak menentukan nasib Gaza. Yang kita perlukan bukanlah pendudukan militer, namun diakhirinya genosida yang dilakukan Israel, pencabutan blokade, dan pengakuan penuh atas kedaulatan Palestina.”
Ia mendesak komunitas internasional harus menolak kebijakan apa pun yang berupaya untuk terus merampas dan menggusur warga Palestina dengan kedok “keamanan” atau “stabilitas.” “Rencana Trump itu bukan soal perdamaian. Itu soal kekuasaan, kendali, dan pelestarian kekerasan kolonial.”
Dia menekankan bahwa Gaza bukanlah sebuah lahan kosong yang menunggu pendudukan asing. Wilayah itu adalah rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina yang hidup di bawah pengepungan, mengalami pembantaian yang tak terhitung jumlahnya, dan terus menolak pengungsian.
“Tidak ada kekuatan asing yang berhak menentukan nasib Gaza. Yang kita perlukan bukanlah pendudukan militer, namun diakhirinya genosida yang dilakukan Israel, pencabutan blokade, dan pengakuan penuh atas kedaulatan Palestina.”
Ia mendesak komunitas internasional harus menolak kebijakan apa pun yang berupaya untuk terus merampas dan menggusur warga Palestina dengan kedok “keamanan” atau “stabilitas.” “Rencana Trump itu bukan soal perdamaian. Itu soal kekuasaan, kendali, dan pelestarian kekerasan kolonial.”
Di Jalur Gaza perbincangan soal rencana Trump jadi isu yang menguar. Wasayef Abed di antara yang mendengar isu itu dari sesama pengungsi Palestina di Deir el-Balah, Gaza tengah. Reaksi Wasayef yang berusia 36 tahun adalah ketidakpedulian. “Saya tidak terlalu memperhatikan,” katanya kepada Aljazirah sambil berjalan untuk memeriksa tendanya yang basah kuyup.
“Saya bahkan tidak memiliki ponsel atau sarana apa pun untuk mengikuti berita,” tambahnya acuh tak acuh, wajahnya yang lelah menunjukkan kelelahannya. “Yang saya tahu adalah saya dan ibu saya tidak akan pernah meninggalkan Gaza, apapun yang terjadi. Yang kami tunggu sekarang hanyalah cara untuk kembali ke rumah kami yang hancur di utara.”
Wasayef melihat pernyataan Trump sebagai bentuk tekanan – baik terhadap rakyat Palestina maupun kelompok bersenjata di Gaza, termasuk Hamas. “Saya dapat memberitahu Anda bahwa orang-orang di sini tidak akan pernah menerima pemindahan paksa,” katanya. Mereka dapat menanggung pengungsian internal, namun memaksa mereka keluar dari negaranya, seperti yang disarankan Trump, tidak akan pernah berhasil.”
Imad al-Qassas, ayah enam anak berusia 60 tahun, telah mengungsi dari Deir el-Balah timur ke pusat kota tersebut, di mana dia sekarang tinggal di tenda setelah rumahnya dihancurkan. Tanggapannya terhadap pernyataan Trump jelas: “Itu tidak mungkin.”
“Tidak peduli berapa banyak kehancuran, kehancuran dan pembunuhan yang kita alami selama perang ini, hal ini tidak akan pernah terjadi,” tambahnya. “Ke mana kami akan pergi?” dia bertanya. “Bahkan jika perbatasan dibuka dan migrasi sukarela ditawarkan, saya tidak akan pernah pergi, betapapun sulitnya situasi saya.”
Imad percaya bahwa apapun godaan untuk melakukan pemukiman kembali – baik itu perumahan, kompensasi, atau negara tuan rumah – tempat perlindungan utama seseorang adalah tanah airnya.
“Saya tinggal di Sudan selama empat tahun dan di Libya selama enam tahun pada tahun 1990-an. Saya lahir di Uni Emirat Arab. Tapi akhirnya saya kembali ke rumah,” ujarnya tegas. “Tidak peduli bencana apa pun yang menimpa kami di Gaza, ini adalah tanah air kami, dan kami menganggapnya suci.”
“Kehidupan di luar Gaza, bahkan dalam keadaan normal, tidaklah mudah bagi semua orang di seluruh dunia. Izin tinggal, perpanjangan, dokumen – selalu ada perbedaan antara pengungsi dan penduduk,” jelasnya.
“Sekarang bayangkan situasi kami: terlantar, ditolak dan dipaksa keluar dari Gaza. Kami pasti akan dipermalukan dan diperlakukan dengan cara yang paling buruk.” “Saya lebih baik mati di tempat saya berdiri. Sekalipun mereka mencincangku dan anak-anakku, aku tidak akan pergi.”