Spirit of Aqsa, Palestina- Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret menjadi anomali bagi wanita di Jalur Gaza. Rawan Samouni  (25 tahun), seorang wanita Gaza tidak merayakan peringatan tersebut seperti para wanita di dunia.

Sebaliknya, dia bekerja lebih dari 12 jam sehari membantu sang suami dalam mempersiapkan dan menjual roti demi memenuhi kebutuhan keluarga. Rawan tidak peduli dengan “Hari Perempuan Internasional”.

Dia mehabiskan hari-harinya di tenda yang didirikan di trotoar salah satu jalan di Kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah. Dia mengungsi di tempat tersebut setelah diusir paksa oleh pasukan Israel dari Kota Gaza, Jalur Gaza utara.

Hari Perempuan Internasional kali ini diperingati bertepatan dengan enam bulan militer Israel membantai Jalur Gaza. Warga sipil di sana, terlebih anak-anak dan wanita, menyaksikan tiap hari kehancuran dan penderitaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pengungsian dan Ketakutan

Saat dunia merayakan Hari Perempuan Internasional, Rawan menjalani hari dalam keadaan tidak merasa aman. “Saya lelah, sudah cukup, kami ingin kembali ke rumah kami,” katanya dengan suara bergetar, dikutip Aljazeera Arabic, Jumat (8/3/2024).

“Saya tidak bisa tidur, saya tidur dan bangun takut untuk anak-anak saya atau suami saya pergi (dibunuh oleh tentara pendudukan), ke mana saya akan pergi setelah mereka pergi? Atau saya akan mati, kami ingin kembali ke Gaza, sudah cukup,” ujarnya.

Di sisi lain, wanita Palestina harus menghadapi kurangnya privasi di tenda pengungsian. Mereka terpaksa mengenakan pakaian shalat tiap saat. Tidak ada toilet di tenda, sehingga harus berjalan beratus-ratus meter setiap hari untuk menggunakan toilet umum di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa.

Sementara itu, Rana Masoud melewati Hari Perempuan Internasional duduk di tanah di depan tungku api yang menyala, membuat tas secara primitif untuk dijual.

Rana (30 tahun), yang tinggal di tenda kecil di halaman sekolah yang berubah menjadi tempat perlindungan bagi ribuan pengungsi di barat Deir al-Balah, terpaksa membuat tas yang diperlukan oleh penjual untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

“Di Hari Perempuan, tidak ada hak bagi perempuan di Gaza, di sini mereka dibunuh, disiksa, dan hidup di tenda,” katanya.

Seperti wanita Gaza lainnya, Rana kekurangan privasi karena tinggal di tenda bersama saudara laki-laki suaminya dan keluarga mereka. Selain rasa takut akan pembantaian yang bisa merenggut nyawanya, dia juga menghadapi kondisi hidup yang sulit di tempat pengungsian.

“Di Hari Perempuan, tidak ada yang peduli dengan kami.”

Kebohongan Global

Sementara itu, Vida Harb (50 tahun) tidak pernah membayangkan akan ada hari dia harus tinggal di tenda dengan 18 orang, termasuk anak-anak dan cucunya. Baginya, Hari Perempuan Internasional adalah contoh dari “ketidakjujuran global” yang melihat penderitaan wanita Gaza dan memilih untuk diam.

Setelah tinggal di rumah besar, Vida harus berjalan jauh untuk mendapatkan air sejak beberapa bulan terakhir. Keluarganya juga mengalami kesulitan keuangan besar karena kehabisan uang.

“Kami berdiri di antrian untuk mendapatkan air, dan Tuhan tahu bagaimana kami mendapatkan tepung, dan bagaimana kami memasak dan membawa roti untuk anak-anak, dan bagaimana kami pergi ke toilet, dan bagaimana kami bersuci untuk salat, ini adalah kehidupan yang sulit dan tragis,” ujarnya.

“Kami dulu hidup bahagia, tapi sekarang kami bahkan tidak bisa membersihkan piring setelah makan, penderitaan tidak berakhir.”

Di tenda segitiga kecil, Rania Habib, ibu dari enam anak tinggal dengan keluarga saudara perempuannya dalam kondisi yang sangat sulit. Hidupnya bergantung pada sumbangan dari dermawan, terutama karena keluarga besar dan suaminya tidak bisa bekerja.

“Menjadi seorang wanita, saya habiskan Hari Perempuan Internasional di tenda, situasi kami sangat sulit, kami mendapatkan makanan dan air dari ujung dunia, dan seluruh hidup kami sekarang adalah antrian, kami meminta segala sesuatu,” tutur Rania.

Dia menambahkan, “Seharusnya wanita di Hari mereka yang Internasional dihormati dan hidup seperti biasa, bukan duduk di tenda dan berlari di antara pasir dan kotoran, mandi di tanah, dan bahkan tidak memiliki toilet dan dapur, dan meminta sepiring makanan dan roti untuk anak-anak mereka.”

Seperti wanita lain yang tinggal di tenda, Rania dan keluarganya menggunakan toilet umum yang berjarak puluhan meter, dan harus membawa air bersama mereka. Dia berkata, “Kami – wanita – tidak memiliki privasi atau kebebasan, kami tidak bisa duduk tanpa kerudung karena tenda terbuka, dan suami saudaraku tinggal bersama kami, bahkan orang yang lewat di jalan akan melihat saya.”

Klaim Hak

Kesusahan Suhaimah Shanteff tampak berbeda karena sudah tua dan berusia 68 tahun. Lantaran usianya yang lanjut, dia memerlukan perawatan khusus dan banyak kebutuhan. Namun, dia tinggal di tenda tanpa bisa mendapatkan kebutuhan pokok dasar.

Sepuluh putrinya memulai hari dengan berjalan ratusan meter untuk mencapai toilet umum khusus untuk wanita. Dengan perang yang berkepanjangan, memasuki bulan keenam, Suhaimah tidak tahu bagaimana mengatur kehidupan sehari-hari tanpa sumber pendapatan.

“Penderitaan kami selama pengungsian, kami meninggalkan rumah kami dan tidak mendapatkan bantuan apa pun, kami sekitar 20 orang di tenda, dan sampai sekarang kami tidak punya makanan,” ujar Suhaimah.

Dia bertanya kepada Amerika Serikat dan Eropa, “Mereka mengklaim hak-hak perempuan, di mana mereka? Apakah itu hanya untuk mereka? Dan kami mendapat pembunuhan dan penindasan, mereka mendukung Israel untuk memusnahkan keturunan kami.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here