Ledakan bom rakitan yang menghantam kendaraan militer Israel di pos 104, dekat Kota Tulkarem, bukan hanya mengejutkan pasukan pendudukan yang telah bercokol hampir tujuh bulan, tapi juga menyentak warga yang selama ini dipaksa hidup dalam teror. Operasi itu diklaim oleh Saraya Al-Quds – Kumpulan Tulkarem, yang menyatakan bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Bom meledak siang hari, menghantam kendaraan lapis baja jenis “Nimr” dan melukai dua tentara Israel, salah satunya parah—pengakuan yang bahkan datang dari militer pendudukan sendiri.

Tak butuh waktu lama, Israel merespons dengan menjadikan Tulkarem sebagai “zona militer.” Kota ditutup rapat, jalan-jalan dipenuhi barikade, ribuan pria ditangkap secara massal, bahkan dijadikan tahanan di lapangan Universitas Khaduri.

“Dalam hitungan menit, Tulkarem berubah jadi medan perang. Tentara bertindak seperti kehilangan akal, menangkapi siapa saja di jalan, mengubah kota ini jadi penjara,” kata warga lokal, Mu’adz Abu Safiyyah.

Di tengah kepungan, layanan darurat pun lumpuh. Ambulans dicegat, tenaga medis diancam senjata. Seorang petugas Bulan Sabit Merah, Safiyyah al-Balbisi, menggambarkan betapa sulitnya menyelamatkan korban: “Kami ditahan berjam-jam, senjata diarahkan ke kami, bahkan korban harus dipanggul warga melewati pos militer agar bisa dirawat.”

Penjajahan dengan Wajah Baru

Bagi otoritas Palestina di Tulkarem, apa yang dilakukan Israel bukan sekadar respons militer, melainkan bagian dari rencana politik. Wakil gubernur Faisal Salama menyebut operasi ini sebagai “hukuman kolektif dan langkah nyata menuju proyek aneksasi.” Rumah warga diubah jadi pos militer, pasar kota dipenuhi kendaraan lapis baja, dan pemuda ditangkap dari kafe, apotek, hingga angkutan umum.

Kesaksian warga menunjukkan pola yang berulang: pengusiran massal, penghancuran ribuan rumah di kamp pengungsi, dan kini perluasan operasi hingga jantung kota. Semua ini, kata Salama, adalah “upaya Israel untuk mengubah Tulkarem menjadi laboratorium bagi proyek pendudukan permanen.”

Perang yang Tak Bisa Dimenangkan

Meski dikepung, serangan kemarin membuktikan sesuatu yang penting: operasi militer Israel gagal memadamkan perlawanan. Pakar urusan Israel, Yasser Manaa, menegaskan bahwa pola perlawanan ini telah menjelma perang gerilya, jenis konflik yang paling ditakuti oleh militer pendudukan.

“Ledakan Tulkarem menyingkap kegagalan Israel. Mereka tidak mampu menghapus kelompok perlawanan, justru memicu ketakutan bahwa model perlawanan ini bisa meluas ke kota-kota lain di Tepi Barat,” jelasnya.

Dengan dukungan penuh pada agenda pemukim, tentara Israel kini mengadopsi strategi baru: menyerap kekerasan para pemukim dan menjadikannya bagian dari operasi resmi militer. Tulkarem, seperti Gaza, menjadi saksi dari kebijakan brutal ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here