Di tengah deru bom yang terus melumat Gaza dan korban jiwa yang terus berjatuhan, dunia menanti jawaban: Mengapa gencatan senjata yang dijanjikan Presiden AS Donald Trump berkali-kali “sudah dekat” justru belum juga terwujud?
Meski sudah dua pekan sejak Trump mengklaim kesepakatan hampir tercapai, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al-Ansari, menegaskan negosiasi masih berjalan, tanpa kebuntuan, dan berbagai ide baru terus dibahas.
Namun, “tidak adanya kebuntuan” bukan berarti ada kemajuan nyata. Justru memperkuat dugaan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu — yang kini diburu Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang — sengaja membeli waktu, terus memunculkan syarat baru untuk menggagalkan kesepakatan.
Menurut analis politik Ahmad Al-Hila, sinyal positif dari Qatar belum cukup memberi gambaran jelas tentang kemajuan perundingan.
Perselisihan utama: peta kendali militer
Isu terberat dalam negosiasi bukan hanya soal penyaluran bantuan — yang terus diubah Israel menjadi senjata kelaparan dan pemaksaan pengungsian — melainkan seputar keberadaan militer Israel di Gaza.
Sementara pihak Palestina bersikeras pada kesepakatan yang mengarah pada penarikan penuh pasukan Israel, pemulangan warga ke rumah mereka, dan kebebasan bergerak, Netanyahu justru mempertahankan kendali di titik-titik strategis seperti Koridor Philadelphia, Morag, dan Salahuddin. Semua demi mewujudkan ambisi “realitas keamanan permanen” yang memungkinkan penindasan dan pengusiran lebih lanjut.
Rencana “kota kemanusiaan” di Rafah yang dikampanyekan Israel pun ditolak secara luas — bahkan oleh kalangan militernya sendiri. Pensiunan Jenderal Israel Israel Ziv menyebutnya “kamp penahanan terbesar dalam sejarah” dan “kejahatan perang terbuka”.
Netanyahu, tekanan sayap kanan, dan Trump
Netanyahu terus memainkan waktu untuk menjaga dukungan sayap kanan ekstremis, terutama menjelang reses Knesset akhir bulan ini yang dianggap krusial demi kelangsungan pemerintahannya.
Namun, analis AS Thomas Warrick memperingatkan bahwa Trump bisa menekan Israel agar mau berkompromi. Bagi Trump, tampil sebagai pemimpin kuat jauh lebih penting daripada melindungi Netanyahu — seperti saat ia menekan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Tetapi di balik semua itu, AS tetap memikul tanggung jawab moral. Dukungan politik dan militer Washington telah memungkinkan Israel terus membunuh dan mengusir warga Palestina, meski berulang kali AS mengaku “menekan” Tel Aviv, yang pada akhirnya justru melanggengkan agenda Netanyahu.
Genosida yang disponsori
Pelapor khusus PBB untuk hak kesehatan, Tlaleng Mofokeng, menegaskan bahwa apa yang dilakukan Israel, dengan restu penuh AS dan sekutunya, adalah bentuk apartheid modern dan upaya pemusnahan sistematis terhadap bangsa Palestina.
Dalam wawancaranya bersama Al Jazeera, Mofokeng menekankan bagaimana Israel secara sengaja meruntuhkan sistem kesehatan Gaza, membuat rakyat kelaparan, dan melemahkan mereka hingga mati perlahan.
Belum pernah ada di dunia, kata Mofokeng, kehancuran total terhadap seluruh prasarana hidup seperti yang terjadi di Gaza hari ini. Semua ini terjadi karena Israel merasa kebal hukum, dilindungi, dan tak akan dihukum oleh para pendukungnya.